Baru saja ku menyadari, sepi tak selalu sedih dan sendiri
pun tak selamanya sepi. Bahkan hatiku tak lagi terusik sebal saat ku liat
sejauh mata memandang begitu banyak pasangan asik bercengkrama, bergandengan
tangan bak truk gandeng tak mau dipisah. Hari itu malam sabtu, ku nikmati
pemandangan sekitar disudut temaram, sudut itu dan kursi empuk serta meja
mungilnya adalah kawan lamaku, aku selalu duduk disudut ini dan tak pernah
pindah ke tempat yang lain, lalu aku tenggelam dalam keasyikan menyeruput kopi
hitam pahit favoritku dan tak lupa kepulan asap tembakau menemaniku. Café
dengan interior cantik namun berkesan vintage ini nampak penuh namun tak
terlalu sesak, dikejauhan mengalun tembang lawas yang bernada swing mencoba
merayu dengan nada – nada manisnya.
Disudut jauh sana mataku terpaku pada sepasang layaknya
kekasih yang memakai busana dengan warna senada, kuperhatikan seikat mawar
tergeletak merana di meja mereka, sejoli itu saling duduk bersebrangan namun sibuk
dengan gadget dan dunia masing – masing, tertunduk dengan senyum dibibir,
berdua namun tak terlihat bersua. Aku tersenyum kecut dan mengalihkan pandang.
Mataku terhenti pada sekelompok pemuda tampan yang duduk
melingkar dimeja bundar dan tertambat di sofa empuk, dan lagi – lagi ku lihat
pemandangan itu, mereka saling menggenggam mesra smartphone canggih besutan
terbaru, terpaku, dan terdampar dalam diam. Ada yang asyik mengabadikan kopi
berbusa lucu dimeja itu dan ada juga yang asyik mengetik cepat di layar sentuh
bak sambaran kilat. Aku termenung, sepertinya seisi ruangan ini hanya aku
seorang yang datang sendiri, namun mengapa rasanya mereka semua nampak sepi?
Kemanakah gelak tawa nyata itu pergi?
Kuseruput kopi legam itu perlahan, aromanya yang memabukkan
membuatku selalu jatuh cinta padanya, bahkan sabun mandiku pun beraroma kopi,
dan tak jarang dirumah pun aku selalu menyempatkan mengubahnya menjadi lulur
untuk kulit tan eksotis milikku ini. aku tak keberatan dengan pahitnya, hidupku
toh tak lebih pahit darinya. Namun nikmatnya selalu membuatku bersyukur dan
lagi - lagi membuatku berakhir sendiri di pojokan café ini.
Rintik hujan mulai menitik di jendela tepat di sebelahku,
kupandangi lekat – lekat butirnya yang meleleh dan saling berkejaran riang
menetes pelan lalu hilang dari pandang. Ah, mendadak ingatanku melompat pada payung
mungil motif bunga biru lusuh yang masi menggantung lunglai didekat pintu
kamarku. Sialan! Aku lupa membawanya dan membayangkan aku pulang menembus malam
mencoba mendekati mobil mungilku dalam guyuran hujan yang semakin deras dan
dingin yang merayap masuk memeluk tulang saat kunyalakan AC didalamnya.
Bayangan dingin membeku itu membuatku bergidik.
Ku hembuskan nafas berat sembari melempar pandangan sebal ke
jendala lagi sambil berusaha mengenyahkan kekesalanku. Hebusan nafasku yang
terlalu dekat dengan kaca berubah menjadi uap buram, sontak tanganku meraih
kaca dan menghapusnya pelan dalam sapuan. Saat itu mataku terpaku pada sesosok
bayang yang membelah hujan, bertudung jaket hoodie abu – abu dengan senyum
lebar ia menyeruak hujan begitu saja. Aku mengikuti sosok itu yang berdiri
sambil mengibaskan tangannya yang basah di tepi pintu café, setelah melepas
jaket hoodienya dan meninggalkannya begitu saja tergeletak di kursi depan ia
mendorong pintu café sampai terbuka dengan tangan kiri dan mengacak rambut
basahnya dengan tangan kanan. Mataku yang masih saja jahil mengikuti bayangnya
yang memilih duduk di kursi tinggi yang tertata mirip bar dekat dengan dapur
seraya berbincang dengan bartender. Sepertinya aku mengenalnya tapi entahlah ku
rasa ada kejutan listrik dalam hatiku saat kuikuti bayangnya dengan pandangan
penasaran.
Ku raih gelasku yang mulai kosong dan dingin itu lalu
meminumnya hingga habis. Pahit langsung menyeruak lidah namun tak mampu
mengalihkan rasa penasaranku pada sesosok lelaki tersebut. Sambil melambaikan
tangan seraya memanggil kakak waitressnya, aku memandangi punggungnya yang
duduk jauh disebrang sana, kucuri lihat ia sedang asyik meniup kopi panasnya
sambil menggoda mas – mas bartender yang menurut asumsiku ialah kawannya atau
seseorang yang ia kenal, ah berarti ia sama – sama pengunjung tetap café ini sepertiku.
Saat kakak waitressnya mendatangiku dan segera menanyakan apa pesananku
selanjutnya aku memesan secangkir kopi hitam mandailing (lagi) dan sepiring
pizza bakar. Pesanan terakhirku ini membuat kakak waitressnya (kali ini yang
datang namanya Rumi, gadis cantik dan lincah yang rambut lurusnya selalu
dikucir ekor kuda, ia sebetulnya sangat cantik hanya saja entah mengapa ia
selalu terlihat murung saat berhadapan dengan pengunjung caffe) yang sudah lama
mengenali seleraku sedikit keheranan.
“hmmm, untuk isian topingnya kak lily ingin varian yang
mana?” tanyanya sembari bersiap menulis pesananku dengan cekatan
“ apa aja deh rum, yang recommended dari kamu aja”
“oke kak, kakak lapar ya? Ga biasanya deh pesen pizza, kakak
kan biasanya minum kopi sampai kenyang” tanyanya penuh selidik dengan nada
bercanda dan tak lupa senyum cantiknya mengembang begitu saja
“ iya nih rum, lapernya level dinosaurus, nanti kalo gak
habis bantuin yah rum? Aku traktir frappe kesukaanmu deh”
“beres kak, ntar kalo café udah agak sepi Rumi temenin deh!”
sahutnya riang,
Ah! Rumi memang paling
cantik kalau sedang lupa bermurung ria. Rumi lalu berlalu dan membawa pesananku
ke arah bar dan menyorongkan kertas itu pada bartender yang berdiri dibalik
meja bar dekat dengan ia, sama dengan Rumi, mas bartendernya mendadak bingung
saat membaca kertas pesananku lalu ia tertawa dan menyorongkan kertas itu ke
bagian dapur dan meninggalkan ia sendirian. Ya, kuakui ini diluar kebiasaanku,
aku biasanya datang kesini hanya untuk memesan lebih dari secangkir kopi, baik
kopi hitam maupun frappe dingin dan tak lebih. Entah mengapa suasana hatiku
yang mendadak membaik dengan seiring kedatangannya membuatku ingin memesan yang
aneh – aneh, atau hanya alibi saja agar bisa duduk bersama Rumi, membuatnya menghabiskan
potongan besar pizza bakar itu dan mencercanya dengan pertanyaan seputar ia,
entahlah, malam hari itu mendadak diluar kebiasaanku.
Kualihkan perhatianku untuk menyalakan batang rokok keempat
malam itu, sembari menikmati asapnya pelan, mendadak telepon genggam bututku
berdering riang, kulirik sekilas dilayarnya tertulis “mantan, JANGAN DIANGKAT”
ah, dia masih saja tak menyerah. Tak ku gubris dering bisingnya berkali – kali,
aku sudah muak dengannya dan memilih mengamati pengunjung café dalam diam, café
mulai sepi, hanya tersisa aku, ia dan sepasang sejoli yang terisak di kejauhan,
aku pun mulai penasaran seperti biasanya dan mulai mengamati pasangan itu,
pasangan itu berbeda dengan pasangan yang ku amati sebelumnya, gadis teramat
cantik itu mengenakan kaos oblong hitam bergambar panda wwf yang dipadu celana
jeans dan sepatu boots, sangat kontras dengan kecantikannya yang sangat
feminim, gadis itu nampak bosan, menyilangkan tangannya didada dan duduk
bersebrangan dengannya seorang lelaki, perawakannya biasa saja, ia mengenakan
kemeja bermerk dan sepatu kets, nampak sedang terisak dan memohon kearah si
gadis. “oh mungkin saja mereka sedang bertengkar atau mungkin saja lelaki
tersebut ketahuan selingkuh” ujarku dalam hati berasumsi. Yah aku selalu suka
berasumsi sembari jahil memperhatikan sekitarku.
Tak lama kemudian Rumi datang dengan senampan pesananku, ia
meletakan hati – hati cangkir kopi milikku dan frappe caramel favoritnya lalu
sepiring besar pizza bakar. Pizza itu sungguh menggoda, topingnya terisi penuh
dan nampak keju mozarellanya masi meleleh. Ah mengapa baru kali ini aku
memesannya, pizza ini sesuai dengan ekspektasiku, karena aku cenderung pemilih
dan bawel kalo soal makanannya dan berujar dalam hati aku akan mulai memesan
ini dikemudian hari.
Rumi melesakkan dirinya di sofa empuk diseberangku, ia
nampak letih namun lebih ceria dari biasanya. Ia menyeruput frapenya lahap,
meletakkannya dan mulai menyobek pizzanya lalu meletakkan potongan pizza itu ke
piring kecil dan menyorongkanke arahku
“ kak lily, ini deh cobain, dijamin enak deh! aku tadi
request sama mas joni si chef buat ngasih topingnya spesial agak banyakan, biar
kakak klepek – klepek gitu” lalu ia tertawa menggodaku
“ah rum, kamu ini bisa aja.
Kelihatannya sih enak, aku cobain yah” aku lalu meraih potongan pizza
itu, dan benar kata Rumi, pizza itu enak sekali, bahkan lebih enak dari
buatanku. Aku menghabiskan sepotong dan lalu meraih kopi panasku, nikmat sekali
rasanya. Kulihat Rumi masih asyik menyeruput frappenya lalu kulontarkan
pertanyaan iseng yang sedari tadi mengganggu pikiranku, saat kulihat ia masih
asyik mengobrol dengan Mawan, si bartender.
“rum, kamu kenal sama mas – mas yang didekatnya Mawan itu
gak? Kok aku ga pernah liat ya?” tanyaku dengan hati – hati. Rumi lalu meletakkan gelas frappenya dimeja. “
loh, aku kira kak lily udah kenal. Itu mas Hakim kak. Sama deh kayak kakak,
pengunjung setia disini, oh mungkin mas Hakim sering kesininya siang – siang kali
ya jadi jarang ketemu kak lily. Dia itu selalu bikin heboh waitress disini kak,
maklum masnya udah ganteng ramah lagi, wah Rumi besok bakal dicerca habis –
habisan ini kalo temen – temen shift siang tau mas Hakim kesininya malem –
malem. Biasanya sih kalo siang dandannya kayak anak kuliahan yang rapi banget
gitu kak, kalo ga wifiian sambil bikin skema ruwet ya hobinya nanya – nanya
sama bartender disini. Biasanya sih pesennya kopi item aceh gayoo kak. Mas Hakim
mah kalo duel minum kopi item saingannya kak lily ini. dia bisa pesen 2 sampe 3
gelas gitu sama kayak kakak, padahal Rumi disuruh minum satu aja ga bakal habis
deh, paitnya itu hlo, duh Rumi ga kuat hahahaha” Rumi lalu meraih potongan
pizza dan mulai melahapnya, kasihan gadis ini sepertinya ia belum sempat
istirahat makan karena café lumayan ramai bisikku dalam hati. Aku masih memeluk
cangkir hangatku dan meliriknya lagi, ia sedang menatap layar telpon
genggamnnya dalam diam, entah apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran
indahnya, ku harap andai saja aku mampu menerawangnya tanpa perlu bertanya.
Malam mulai beranjak larut, pizza itu ludes (aku dan Rumi
sama – sama meghabiskan dua potong besar dan kami kekenyangan), frappe Rumi
habis tak bersisa, dan begitu juga dengan cangkir kopiku. Kami sama – sama
menghenyakkan diri tenggelam disofa nan empuk itu. Dikejauhan joni dan Mawan
sudah mulai bersih – bersih dan membalik kursi, kini yang tersisa hanya aku, ia
dan staff café ini. aku merasa lelah namun senang, ketika Mawan dan joni sudah
selesai beberes, kuraih tas merah munggilku memasukkan telpon genggam dan
meraih dompetku, saat Rumi mulai menumpuk gelas kotor dan melap meja aku berdiri
ke arah kasir yang berada tak jauh disebelah kanannya, oh mendadak hatiku
berdenyut lincah saat jarak kami hanya terpaut 3 langkah kaki, aku mencoba
tetap santai , menghembuskan nafas pelan dan berharap tidak salah tingkah, Mawan
sudah bersiap dibalik kasir sembari tersenyum simpul, seperti anak sd semangat
menunggu jam pulang sekolah. Mawan lalu mengetik semua pesananku ke mesin
kasir.
“oh iya wan, frape punya Rumi jangan lupa ya” ujarku saat
melihat ke arah monitor kasir tersebut
“kok tumben kak pesen pizza? Rumi itu apa aja disodorin
bakal dihabisin kak, kecil – kecil gitu makannya banyak” timpal Mawan saat
mengetik kode pizza di mesin kasir sambil tertawa
“biarin tho wan, toh saya juga ga bakal habis kalo makan sendirian,
Rumi kecil – kecil gitu kamu naksir aja hlo wan wan, hayoooo kamu kapan berani
bilang sama bocahnya” ujarku berbisik menggodanya. Ya karena terlalu sering ke
café ini, seringkali tak sengaja aku mendapati Mawan dibalik meja bartendernya
mengamati Rumi bergerak lincah kesana kemari. Kapan hari itu saat Rumi sedang
tak enak badan dan tak sengaja memecahkan cangkir bekas kopiku, Mawan cekatan
membantunya dan menyuruhnya istirahat dan bersedia menggantikan tugas Rumi,
namun Rumi menolaknya, karena ia tahu ia harus menyelesaikan shiftnya apapun
yang terjadi. Ah kisah mereka ini suatu saat akan ku abadikan dalam bidikan
usil kameraku.
Mawan yang aku counter attack itu cuma bisa meringis lalu
menyebutkan total harga yang harus aku bayar, aku menarik dua lembar biru
puluhan ribu itu dan menyodorkan ke arahnya. Saat Mawan sibuk menghitung
kembalian dan mencari receh 500an, aku melirik ke sisi kiriku, kulihat ia masih
asyik menggoyangkan cangkir kopinya yang tersisa sembari memikirkan sesuatu.
Ingin rasanya aku menghampirinya dan menepuk pundaknya begitu saja, namun
kutahan karena aku tak sanggup memikirkan kalimat selanjutnya. Andai saja
kulepaskan sisi impulsifku mungkin malam itu akan berakhir berbeda. Saat
kuterima kembalian dari Mawan aku lalu berbalik berjalan ke arah mejaku dengan
langkah sedikit kecewa karena kenekatanku akhirnya kalah dengan akal warasku, lalu
ku dapati mejaku sudah bersih dan Rumi masih melesak disofa empuk itu namun
sudah membawa jaket serta tasnya yang tergeletak disisi sofa
“ kak, Rumi nebeng boleh? Rumi sungkan kalo terus – terusan
nebeng Mawan nih kak.” Ujarnya terus terang
“yakin nih rum? Aku sih gak apa – apa, ayok aja deh, tapi
kamu sudah bilang Mawan belom?”
“errr, belum sih kak, yaudah bijim dulu yah kak, aku mau
bilang Mawan” ia lalu mendadak berlari kecil ke arah dapur kuikuti langkah Rumi
dengan lirikan mataku dan kulihat ke arah meja bartender ia juga sedang asyik
bersiap untuk pulang namun dalam diam terhenti entah sedang menunggu apa. Rumi kembali
kearahku dengan langkah gontai dengan raut muka masam dan tak jauh darinya
diikuti langkah Mawan, membawa tas dan jaketnya juga berjalan pelan beriringan dengan
senyum lebar.
“ kak, kalo mawan nebeng juga boleh gak? Ini tadi sepedanya
mogok jadi aku berangkat kerjanya naik bemo tadi kak, pas rumi bilang mau
nebeng kakak yaudah sekalian aja mawan mau ikut hehehe” mawan tersenyum lebar, aku tahu pasti alasanya tersenyum lebar karena ia akan
pulang lagi – lagi bersama rumi walaupun motornya sedang mogok. Kulihat ke arah
rumi ia nampak kesal namun pasrah, taktiknya menghindar lagi – lagi gagal
total. Aku hanya tertawa jahil
“ ayo dah, toh komplek kos – kosan kalian gak jauh dari
kontrakan saya, ini mau pada mampir makan atau langsung pulang? “ rumi mendadak
membelalak sebal ke arahku dan mawan tersenyum kegirangan.
“rumi langsung pulang aja deh kak, lagian udah malem kasian
kak lily ntar” sanggahnya tangkas. Aku hanya sanggup tertawa lagi saat melihat
mawan mendadak lesu. Aku berjalan beriringan dengan rumi ke arah pintu, mawan
menghampir ia yang tengah berdiri diam di tepian pintu dan joni sang chef mulai
mematikan lampu café satu persatu dan menunggu kami keluar dari café untuk
menguncinya, saat mawan tengah berjalan bersisian dengan rumi ke arah mobilku
ku lihat ia melangkah pelan ke arah jalan raya di sisi kiri, ia memasukan
tangannya ke dalam saku celana jeans sembari menendangi krikil di tepi jalan,
ia nampak kesal, ada suatu hal yang menganjal benaknya. Saat aku melambaikan
tangan berpamitan pada joni, chef yang pendiam itu, mataku tertuju pada
jaketnya yang tergeletak dikursi depan café, ia lupa membawanya, kuraih jaket
basah itu dengan segera dan berlari kecil kearahnya, jantungku berdegup ceria,
tanpa sadar aku tersenyum lebar saat mencoba melangkah mendekatinya
“mas hakim, mas hakim” teriakku memanggilnya karena ia
berjalan cukup jauh dariku, ia membalikkan badannya pelan, dan mendadak matanya
berbinar saat melihatku.
“ mas—jaketnya, ketinggal—an “ aku mengangsurkan jaketnya
sambil mencoba mengatur nafasku yang tersenggal, aku memang tidak begitu cocok
berlari. Kombinasi deg – degan dan nafas yang terputus satu dua membuatku lupa
menjaga image. Aku hanya dapat memegangi bagian depan dressku sambil megap -
megap
“errr, terimakasih. Kok kamu tahu namaku?” ia memandangiku
dengan heran dan tetap sambil tersenyum lebar. Duh, gusti senyumnya mendadak
menyeruak meleleh hangat kehatiku.
“ saya—tadi tanya— kerumi mas” ia lantas menepuk punggungku
saat aku bertumpu dengan tangan di lutut mencoba mengatur nafas
“maaf ya, saya membuatmu jadi ngos - ngosan gini. Ada yang bisa saya bantu” ujarnya pelan
Mendadak hatiku membuncah girang “mas mau pulang?” tanyaku
singkat
“iya, tadinya saya hendak berjalan kejalan raya mau nyari
taksi , errr dengan mbak siapa ini? tanyanya halus sambil mengangsurkan
tangannya
“ saya lily mas, kenapa ga bareng kita aja mas, kebetulan si
mawan sama rumi nebeng saya juga mas” sambil menjabat tangannya, tangannya
terasa hangat, genggamannya erat ah ingin rasanya tak melepas jabat tangan itu,
saat melepas tanganku ia nampak bingung, antara kikuk dan mempertimbangkan
sesuatu.
“yakin nih mbak, rumah saya cukup jauh dari sini hlo”
“sudah mas, daripada naik taksi mahal, toh kita rame – rame
pulangnya.” Lalu mendadak aku menggamit tangannya, menariknya pelan. Sesaat ia
menggenggam tanganku erat saat seperkian detik aku tersadar dengan aksi nekatku
itu aku segera melepas tangannya dan berlari kecil kearah rumi yang nampak
sebal minta diselamatkan dari sepikan mawan. Malam itu, hawa kota kami memang
sedingin dataran tinggi pada umumnya, bahkan ketika kami saling berbincang
terlihat uap keluar dari hembusan nafas kita namun entah mengapa malam itu
hatiku terasa hangat dan terasa ringan, seakan gundah sore tadi tak pernah
hadir dan mampir. Semoga saja ini langkah kecil menuju hatimu, mas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar