Minggu, 27 Oktober 2013

Senja.



Senyum matahariku,
Hujan badai sore ini sederas rinduku padamu. Sekeras kilat yang menyambar. Lalu lalang dan menghilang. pohon kan tertiup, daun bergemrisik sayup sayup menghantar ku terhanyut dalam derasnya buaian hujan yang entah kemana akhirnya kan memeluk sauh. Hanya angin galak yang menamparku, mengembalikan angan yang gontai terseret realita.
Aku tercabik di ketidakhadiran senyummu yang untuk entah berjuta detik ku untai satu demi satu. Aku tak butuh kata cinta. Karena semua itu semu. Dapat musnah, dapat meredup. Karena sejatinya cinta hanya milik Sang Khalik, Sang Maha yang menitipkan takdir untuk ku tenun satu demi satu. Ku harap namamu terselip di lembaran buku yang belum ku baca, yang entah masa depan kan mempertemukan kembali ku pada penyimpul satu senyum.  Senyum secerah matahari yang merebak di hatiku tanpa permisi. Punyamu.
Harap yang membuncah tak tahu arah sesaat ku cari di sekeliling arah, sosokmu, bayangmu, senyummu seketika menebar pilu merajam saat tak ku dapati apa yang memeluk harap menguap jadi asap. gundah tertawa terbahak bahak mencemooh ku yang memendam asa. Aku cuma ingin mencuri siluet di tengah ramai dan menukarnya dengan perasaan ringan di dada yang sekian lama ini menumpuk asa, sedikit demi sedikit. Sepotong demi seiris.
Semoga pemilik senyumku baik baik saja di tepian senja. Siapapun kamu.

Sajak Lelap





Masih juga belum terlelap.
Mengerdip lirih ke atap atap.
Haru campur biru penuh harap.
Setitik asa yang riuh rendah dalam gelap.
Himpit mengoyak hening yang kedap.
Lalu malam begitu penat penuh ratap.
Mengaburkan pandang tersedak asap.
Pagi berlalu cepat, terkesiap!
Pusara akhir cinta kan berlabuh pada harap.
Lalu abu hilang dan menguap.
Terajut halus biar terungkap.
Biar terperangkap.
Di pucuk kasih dalam lelap.
Denyut berdesir dan berderap.
Senyum dan anggunnya sikap.
Ah, dasar kau perajut buih buih harap!
Tertunduk layu dan menghadap.
Tak pernah serisau ini merindu tergelap.


6 juli 2013, dini hari

ingin menculikmu.



     Sudah lama kucuri senyum itu. Ku petik dan ku peluk dalam diam. Kagum ialah awal kita bersua. Dimana ku pandangi sebentuk punggung di kejauhan. Menahan kedip saat kau bertutur. Menanyakan ini itu yang menajamkanmu, memahamkanmu dan semakin berhasrat untuk mengenalmu. Mengupas detail tentang hidupmu. Dan diam pun menekuk langkahku. Aku hanya termanggu, berdialog seru dengan hatiku dan beradu argument pedas dengan akalku.
     Aku tak takut gayung tak tersambut manis. Aku tak takut mereka mencibir sadis. Karena yang ku tahu, kamu mengeser lintasan tata surya di duniaku, seakan meminta peluk manja mengelayutiku yang tak berpendirian ini. Maafkan aku, kasih atas keterlambatanku tertampar realita, andai saja ku beradu lintas denganmu lebih awal. Aku hanya tak ingin menyesalinya. Aku hanya ingin beradu lintas lagi melempar manis bertukar senyum itu. Lagi.
     Cinta tidak buta sayang. Hanya saja ia gelap menenggelamkan. Aku tak punya arah tuk lari  ke pelukmu. Aku tak punya panduan untuk mencicip bibir tebal mencibirmu itu. Aku tak punya alasan untuk berada 1 meter dari area pandangmu. Aku hanya tak punya alibi untuk menculikmu masuk ke duniaku.
     Aku tak bisa bohong. Tapi aku juga tak bisa ingkar. Andai ikatan ini tak pernah membelengguku, andai aku mati kesepian hingga ku reguk manisnya senyummu itu. Andai, kamu bedebah!
     Realita tidak akan membiarkan kisah kita semanis laju cerita cinta bohongan di kotak berpendar itu. Mereka mencabik menerkam bulat bulat menyakiti dan menghardik kasar kita yang di buai lantunan lamun. Aku ingin lari. Mendekapmu begitu saja. Menciummu dan memecah tangis harumu begitu saja. Karena hidup begitu kelabu. Semoga aku tersesat masuk ke duniamu yang tak biasa itu, matahariku. semoga.