Minggu, 28 Februari 2016

A S A (p)


            Adakah yang lebih perih dari merindukan seseorang yang bahkan kamu pun tak pernah tahu apakah bayang tentang dirimu pernah melintas di benakknya walau sedetik saja? dan lucunya, setiap kali gadis itu merindu yang ia tahu hanyalah migraine di kepalanya akan menyiksanya. Seakan siksaan di batinnya saja tidak pernah cukup untuknya. Ia harus menderita sedemikian rupa hanya untuk sesosok laki – laki yang bahkan tak tahu ia kini nyata dan ada.

            Gadis itu, seakan sudah sangat terbiasa dengan sapaan dentuman migraine di kepalanya, meraih dompet bergaris hitam putih kumal, membuka dan melirik isinya, yang hanya nampak selembar uang sepuluh ribuan dan dua lembar limaribu tergeletak lemas di dalamnya. Ia tahu ia harus bertahan hidup untuk dua hari ke depan, tapi ia butuh pengalihan agar hatinya tak lagi berdenyut sakit. Perlahan seakan sudah membulatkan tekad untuk mengambil keputusan terbodohnya malam itu, ia raih kunci kosan yang bergantung kunci gelang tangan berwarna merah muda, mengunci pintu dan meraih sandal jepit merah hitamnya. Menapak lunglai seakan tak pernah ada senyum manis yang mengantung di tepian bibir mungilnya.

            Seketika setelah menutup pagar, ia tahu keputusannya saat itu adalah keputusan paling konyol yang dia ambil, tapi ia tetap melangkah dan berkeras hati tak ingin berbalik walau udara malam itu cukup dingin menusuk tulang untuk gadis yang hanya mengenakan t-shirt biru gelap bertuliskan good morning vietnam dan celana pendek batik tipis kedodoran. Mendadak ingatannya terpaku pada jaket jeans abu – abu yang tersampir di balik pintu kamarnya dan menyesal tak meraih gesit jaket itu saat melewati dan menutup pintu kamarnya tadi. 

            Ia menyibukkan kepalanya dengan mengamati orang – orang di sekitaran jalan raya yang kini nampak sepi. Ia sedang malas berasumsi, yang ia tahu hanyalah plang berpendar besar bertuliskan nama gerai toko waralaba yang berjarak sekitar 50 meter dari kakinya melangkah. Ia abaikan begitu saja tukang nasi goreng yang memukul wajan dan butiran nasi yang melompat semangat. Ia mencoba membuat buta indra penciumannya yang otomatis membuat gemuruh di dalam perutnya. Ia tidak peduli ia lapar, ia hanya ingin melangkah dan terus melangkah lalu pulang dengan cepat.

            Tahu – tahu gadis itu sudah berada di depan toko yang lampunya bersinar terang berlebihan seakan tidak ada lagi desa terpencil yang membutuhkan nyalanya. Ia mendorong pegangan pintu dengan malas, tanpa mengitari etalase yang memanggil – manggil mengoda, merayu dan mencoba menyesatkannya, ia langsung saja menghampiri kasir yang kosong. Sepertinya petugasnya asyik menata rak – rak itu atau tengah bergosip, entahlah, matanya terpaku pada kotak – kotak mungil yang tertata rapi di sebrang tempat ia berdiri. Beraneka macam dan warna serta harga yang tercantum nampak begitu memikatnya. Ia bahkan tidak peduli dengan sekelilingnya, matanya hanya terpaku pada kotak mungil yang sanggup menguras isi dompetnya, yang bahkan mengenyangkan perutnya saja tidak.

            Tak lama kemudian, pegawai kasir itu menghampirinya, bahkan sebelum pegawai itu sempat berbicara, ia menyeletuk ringan sambil menunjuk “mbag yang itu berapaan ya?” ia bahkan tak peduli pada antrian gadis dibelakangnya yang mulai berbisik berisik. “10.900 kak, mau pake kantong atau ngga mbag? Kalo pake nambah 200 perak mbag.” Ujar penjaga kasir tersebut, nadanya lelah dan dingin, seakan kalimat yang keluar dari bibirnya sudah terprogram bak robot buatan jepang. Padat, dan begitu saja. “ga usah mbag” sembari menyodorkan selembar sepuluh ribuan dan lima ribuan. Ia meraih kotak mungil berwarna putih dan kembalian dua lembar dua ribuan miliknya. Ia bahkan tak meributkan kembaliannya yang kurang seratus perak, padahal ia terbiasa bawel dan membuat kesal pegawai tersebut karena keadilan 100 peraknya. Nampak kalut seakan membuatnya melupakan protesnya, melupakan sebagian dirinya yang hanya bersisa hampa dan sekotak rokok paling murah yang bisa ia beli.

            Ia memaki pelan saat melangkah pulang, ketika meraih saku celana pendeknya dan tak menemukan korek api magenta kepunyaanya. Sembari mencoba mengingat dimana benda kecil itu tergeletak, ia meraih pagar coklat yang tak pernah terkunci, dan menutupnya asal – asalan. Di kepalanya terbayang pemantik bercorak kerlap – kerlip yang ada di dalam asbak kaca tebal di atas printer di sudut kamarnya. Segera saja ia meraih kunci dan membuka pintu masuk kosannya dengan tak sabar.

             Saat ia tengah menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua, ia memelankan langkahnya, mencoba membuat sepelan mungkin derap kaki yang bisa ia buat. Ia hanya sedang tak ingin berbincang dengan penghuni kamar yang lain. Moodnya saat itu, ditambah dengan denyutan rasa sakit yang pelan – pelan mengrogoti nampaknya cukup untuk melumpuhkan sekumpulan singa di padang savana. Ia hanya tak ingin melampiaskan apa yang seharusnya hanya laki – laki itu ia timpakan penderitaannya, pada orang lain yang tak bersalah. Pada kakak kos yang selalu saja berbaik hati menawarkan sisa nasi dan lauk seadanya. Pada gadis yang lebih tua darinya dan ia tolak tawaran itu dengan sopan walaupun perutnya melilit riuh seakan tengah konser dangdut.

            Ia membuka pintu kamarnya dan segera saja tergeletak di atas karpet plastik berwarna biru terang yang terhampar di lantai. Ia sejenak melupakan kotak putih itu yang tersungkur tak berdaya didekat dompetnya. Kerutan di dahinya menandakan perjalanan singkatnya itu mengkali lipatkan dentuman perih di kepalanya. Membuat migraine menari riang atas dirinya. Dan ia hanya berbaring diam. Menikmati setiap satuan rasa sakitnya dan mencoba merelakan semua rindu tak bertuan miliknya. 
 
            Menit demi menit berlalu. Ia masih saja nampak terdiam menyesakkan. Bahkan melawan saja ia tak sanggup. Kombinasi keduanya sungguh melemahkan raga yang nampak pernah berisi itu. Ia tak hanya bergelut dengan keduanya, kesepian dalam hati berdebunya seperti turut andil pada perih yang tengah memporak porandakan pertahanan tubuhnya. Merajam setiap inci bagian dirinya yang nampak letih dipermainkan asa dan harap. Harap tak berbalas miliknya seorang. Ditengah kekacauan itu, ia hanya menutup matanya damai. Mencoba dengan susah payah merelakan semuanya. Merelakan air matanya menitik pelan tanpa ia sadari, merelakan kepalanya yang seakan – akan mau pecah berkeping - keping, dan merelakan hatinya yang remuk berserakan. 

            Ia meraih pelan kotak kecil itu dengan tangan kanan yang menggapai – gapai asal. Merobek plastik bening dengan cepat dan tak lupa membalik salah satu batang rokoknya lalu meletakan lagi ke dalamnya. Ia raih satu batang yang lain dengan tangan kiri dan lalu melempar kotaknya begitu saja, sembari mencoba meraih asbak kaca yang berada di atas printer di sisi kanannya. Asbak itu terjatuh dan pecah dengan suara keras. Ia tetap saja tak menggubrisnya dan mengambil korek api kelap – kelip yang terlempar, sesaat setelah terjatuh, didekatnya. Korek api itu menyala terang dengan nyala api yang nampak tak seperti korek api biasa. Bara apinya mengumpul runcing dan rendah di dekat pemantiknya dengan warna biru yang tercampur semburat hijau. Bara yang memeluk ujung tembakau seakan kawan lama yang tak pernah bersua.

            Pelan dan dalam diam, kamar itu hanya terisi asap tipis dan kehampaan. Rasa sakit di kepalanya perlahan memudar seiring memendeknya batang rokok itu. Kepalanya boleh saja tak begitu sakit, tapi hatinya tetap saja ngilu. Seakan tersumpal sesak dan siap meledak ke semua penjuru. Harapan bodoh sesaat setelah menyalakannya tak lagi jadi nyata. Ia tetap saja sakit. Dan kepalanya melanglang buana pada satu ingatan yang tak mau pergi. .

            Selarik senyum pada laki – laki jangkung berkacamata, pada jembatan kota berkarat nan sepi, di tengah lalu lintas yang sibuk wara – wiri di bawah kaki mereka dan senyum terlupa pada sang gadis. Riuh tawa seketika membuncah saat mereka sibuk memperhatikan layar digital pada kamera poket mungil yang ada di tangan. Bahkan perih di belakang pergelangan kaki kanannya tak mampu mengusik hati sang gadis yang mendadak seakan mengambang ringan kala itu. Tatapan teduh mata lelaki itu yang menyembunyikan semua rahasia yang tak pernah terucap. Pada lentik jemari sang gadis yang mencoba menggapai asa di balik punggungnya yang berjalan di depannya dalam diam.

            Kenangan itu memudar menipis seiring kepulan asap yang tersisa dari putung yang hampir padam pada jemarinya yang tergeletak, dan mata muram itu mulai terlelap letih, tak lagi pernah terbuka untuk masa sepi yang ada di depannya.

2:32, 2/25/16