Adakah yang lebih perih dari
merindukan seseorang yang bahkan kamu pun tak pernah tahu apakah bayang tentang
dirimu pernah melintas di benakknya walau sedetik saja? dan lucunya, setiap
kali gadis itu merindu yang ia tahu hanyalah migraine di kepalanya akan
menyiksanya. Seakan siksaan di batinnya saja tidak pernah cukup untuknya. Ia
harus menderita sedemikian rupa hanya untuk sesosok laki – laki yang bahkan tak
tahu ia kini nyata dan ada.
Gadis itu, seakan sudah sangat
terbiasa dengan sapaan dentuman migraine di kepalanya, meraih dompet bergaris
hitam putih kumal, membuka dan melirik isinya, yang hanya nampak selembar uang
sepuluh ribuan dan dua lembar limaribu tergeletak lemas di dalamnya. Ia tahu ia
harus bertahan hidup untuk dua hari ke depan, tapi ia butuh pengalihan agar
hatinya tak lagi berdenyut sakit. Perlahan seakan sudah membulatkan tekad untuk
mengambil keputusan terbodohnya malam itu, ia raih kunci kosan yang bergantung
kunci gelang tangan berwarna merah muda, mengunci pintu dan meraih sandal jepit
merah hitamnya. Menapak lunglai seakan tak pernah ada senyum manis yang
mengantung di tepian bibir mungilnya.
Seketika setelah menutup pagar, ia
tahu keputusannya saat itu adalah keputusan paling konyol yang dia ambil, tapi
ia tetap melangkah dan berkeras hati tak ingin berbalik walau udara malam itu
cukup dingin menusuk tulang untuk gadis yang hanya mengenakan t-shirt biru
gelap bertuliskan good morning vietnam dan celana pendek batik tipis kedodoran.
Mendadak ingatannya terpaku pada jaket jeans abu – abu yang tersampir di balik
pintu kamarnya dan menyesal tak meraih gesit jaket itu saat melewati dan
menutup pintu kamarnya tadi.
Ia menyibukkan kepalanya dengan
mengamati orang – orang di sekitaran jalan raya yang kini nampak sepi. Ia
sedang malas berasumsi, yang ia tahu hanyalah plang berpendar besar bertuliskan
nama gerai toko waralaba yang berjarak sekitar 50 meter dari kakinya melangkah.
Ia abaikan begitu saja tukang nasi goreng yang memukul wajan dan butiran nasi
yang melompat semangat. Ia mencoba membuat buta indra penciumannya yang
otomatis membuat gemuruh di dalam perutnya. Ia tidak peduli ia lapar, ia hanya
ingin melangkah dan terus melangkah lalu pulang dengan cepat.
Tahu – tahu gadis itu sudah berada
di depan toko yang lampunya bersinar terang berlebihan seakan tidak ada lagi
desa terpencil yang membutuhkan nyalanya. Ia mendorong pegangan pintu dengan
malas, tanpa mengitari etalase yang memanggil – manggil mengoda, merayu dan
mencoba menyesatkannya, ia langsung saja menghampiri kasir yang kosong.
Sepertinya petugasnya asyik menata rak – rak itu atau tengah bergosip,
entahlah, matanya terpaku pada kotak – kotak mungil yang tertata rapi di
sebrang tempat ia berdiri. Beraneka macam dan warna serta harga yang tercantum
nampak begitu memikatnya. Ia bahkan tidak peduli dengan sekelilingnya, matanya
hanya terpaku pada kotak mungil yang sanggup menguras isi dompetnya, yang
bahkan mengenyangkan perutnya saja tidak.
Tak lama kemudian, pegawai kasir itu
menghampirinya, bahkan sebelum pegawai itu sempat berbicara, ia menyeletuk
ringan sambil menunjuk “mbag yang itu berapaan ya?” ia bahkan tak peduli pada
antrian gadis dibelakangnya yang mulai berbisik berisik. “10.900 kak, mau pake
kantong atau ngga mbag? Kalo pake nambah 200 perak mbag.” Ujar penjaga kasir
tersebut, nadanya lelah dan dingin, seakan kalimat yang keluar dari bibirnya
sudah terprogram bak robot buatan jepang. Padat, dan begitu saja. “ga usah
mbag” sembari menyodorkan selembar sepuluh ribuan dan lima ribuan. Ia meraih
kotak mungil berwarna putih dan kembalian dua lembar dua ribuan miliknya. Ia
bahkan tak meributkan kembaliannya yang kurang seratus perak, padahal ia terbiasa
bawel dan membuat kesal pegawai tersebut karena keadilan 100 peraknya. Nampak
kalut seakan membuatnya melupakan protesnya, melupakan sebagian dirinya yang
hanya bersisa hampa dan sekotak rokok paling murah yang bisa ia beli.
Ia memaki pelan saat melangkah
pulang, ketika meraih saku celana pendeknya dan tak menemukan korek api magenta
kepunyaanya. Sembari mencoba mengingat dimana benda kecil itu tergeletak, ia
meraih pagar coklat yang tak pernah terkunci, dan menutupnya asal – asalan. Di
kepalanya terbayang pemantik bercorak kerlap – kerlip yang ada di dalam asbak
kaca tebal di atas printer di sudut kamarnya. Segera saja ia meraih kunci dan
membuka pintu masuk kosannya dengan tak sabar.
Saat ia tengah menaiki tangga menuju kamarnya
di lantai dua, ia memelankan langkahnya, mencoba membuat sepelan mungkin derap
kaki yang bisa ia buat. Ia hanya sedang tak ingin berbincang dengan penghuni
kamar yang lain. Moodnya saat itu, ditambah dengan denyutan rasa sakit yang
pelan – pelan mengrogoti nampaknya cukup untuk melumpuhkan sekumpulan singa di
padang savana. Ia hanya tak ingin melampiaskan apa yang seharusnya hanya laki –
laki itu ia timpakan penderitaannya, pada orang lain yang tak bersalah. Pada
kakak kos yang selalu saja berbaik hati menawarkan sisa nasi dan lauk seadanya.
Pada gadis yang lebih tua darinya dan ia tolak tawaran itu dengan sopan
walaupun perutnya melilit riuh seakan tengah konser dangdut.
Ia membuka pintu kamarnya dan segera
saja tergeletak di atas karpet plastik berwarna biru terang yang terhampar di
lantai. Ia sejenak melupakan kotak putih itu yang tersungkur tak berdaya
didekat dompetnya. Kerutan di dahinya menandakan perjalanan singkatnya itu
mengkali lipatkan dentuman perih di kepalanya. Membuat migraine menari riang
atas dirinya. Dan ia hanya berbaring diam. Menikmati setiap satuan rasa
sakitnya dan mencoba merelakan semua rindu tak bertuan miliknya.
Menit demi menit berlalu. Ia masih
saja nampak terdiam menyesakkan. Bahkan melawan saja ia tak sanggup. Kombinasi
keduanya sungguh melemahkan raga yang nampak pernah berisi itu. Ia tak hanya
bergelut dengan keduanya, kesepian dalam hati berdebunya seperti turut andil
pada perih yang tengah memporak porandakan pertahanan tubuhnya. Merajam setiap
inci bagian dirinya yang nampak letih dipermainkan asa dan harap. Harap tak
berbalas miliknya seorang. Ditengah kekacauan itu, ia hanya menutup matanya
damai. Mencoba dengan susah payah merelakan semuanya. Merelakan air matanya
menitik pelan tanpa ia sadari, merelakan kepalanya yang seakan – akan mau pecah
berkeping - keping, dan merelakan hatinya yang remuk berserakan.
Ia meraih pelan kotak kecil itu
dengan tangan kanan yang menggapai – gapai asal. Merobek plastik bening dengan
cepat dan tak lupa membalik salah satu batang rokoknya lalu meletakan lagi ke
dalamnya. Ia raih satu batang yang lain dengan tangan kiri dan lalu melempar kotaknya
begitu saja, sembari mencoba meraih asbak kaca yang berada di atas printer di
sisi kanannya. Asbak itu terjatuh dan pecah dengan suara keras. Ia tetap saja
tak menggubrisnya dan mengambil korek api kelap – kelip yang terlempar, sesaat
setelah terjatuh, didekatnya. Korek api itu menyala terang dengan nyala api
yang nampak tak seperti korek api biasa. Bara apinya mengumpul runcing dan
rendah di dekat pemantiknya dengan warna biru yang tercampur semburat hijau. Bara
yang memeluk ujung tembakau seakan kawan lama yang tak pernah bersua.
Pelan dan dalam diam, kamar itu
hanya terisi asap tipis dan kehampaan. Rasa sakit di kepalanya perlahan memudar
seiring memendeknya batang rokok itu. Kepalanya boleh saja tak begitu sakit,
tapi hatinya tetap saja ngilu. Seakan tersumpal sesak dan siap meledak ke semua
penjuru. Harapan bodoh sesaat setelah menyalakannya tak lagi jadi nyata. Ia
tetap saja sakit. Dan kepalanya melanglang buana pada satu ingatan yang tak mau
pergi. .
Selarik senyum pada laki – laki jangkung
berkacamata, pada jembatan kota berkarat nan sepi, di tengah lalu lintas yang
sibuk wara – wiri di bawah kaki mereka dan senyum terlupa pada sang gadis. Riuh
tawa seketika membuncah saat mereka sibuk memperhatikan layar digital pada
kamera poket mungil yang ada di tangan. Bahkan perih di belakang pergelangan
kaki kanannya tak mampu mengusik hati sang gadis yang mendadak seakan
mengambang ringan kala itu. Tatapan teduh mata lelaki itu yang menyembunyikan
semua rahasia yang tak pernah terucap. Pada lentik jemari sang gadis yang
mencoba menggapai asa di balik punggungnya yang berjalan di depannya dalam
diam.
Kenangan itu memudar menipis seiring
kepulan asap yang tersisa dari putung yang hampir padam pada jemarinya yang
tergeletak, dan mata muram itu mulai terlelap letih, tak lagi pernah terbuka
untuk masa sepi yang ada di depannya.
2:32, 2/25/16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar