Jumat, 07 Juli 2017

Aku Hanya Ingin



Aku hanya ingin..
Memandangimu kala terlelap
Memperhatikan
Betapa lentik bulu mata itu
Betapa teduh sosok itu

Aku hanya ingin..
Menghiasi mimpimu
Mengusir kalutmu
Menawarkan
Peluk hangat milikku
Di kala risau melandamu

Aku hanya ingin..
Duduk manis di sebrang mejamu
Mengulurkan secangkir teh hangat
Kala hujan tak lagi bersahabat

Aku hanya ingin
Menyimak dan mengulik kisah panjang
Dari bibir yang lebih nyaman terdiam
Aku ingin jadi tujuanmu tuk pulang
Jika lelah mulai menggelayutimu kelam

Aku hanya ingin..
Jadi yang terakhir kau lihat
Dan pertama yang kau dekap
Saat hari – hari mulai terasa penat

Aku hanya ingin..
Terus belajar hal baru
Terus mencoba memahamimu
Lalu berjuang, kau dan aku selalu

Aku hanya ingin..
Berdiri satu shaf di belakangmu
Yang mencium tanganmu hormat
Yang slalu ku sebut dalam doa lirih nan hikmat

Aku hanya ingin terus bersamamu
Jika boleh ku?

Cinta itu, Berdusta.





Entah mengapa tengah malam ini, aku terisak kencang seorang diri, saat menonton film favoritku untuk kesekian kalinya. Akhir ceritanya sungguh menyayat hatiku. Lalu ingatanku berlompatan pada satu cerita dan cerita lainnya. .

Kawan karibku, Rachma. 
Dia yang selalu saja tersenyum walau hidup terasa pahit. Dia, kawanku yang selalu saja tertawa terbahak – bahak pada leluconku yang entah dimana letak lucunya. Kawanku tersayang yang selalu saja menemani hariku segelap gulita apapun itu. Ia selalu saja setia disana.
Namun akhir – akhir ini senyum khasnya itu lenyap. Berganti pesan singkat yang membuat koyak hatiku, membacanya saja serasa tersayat sayat hancur, tak ku bayangkan bagaimana rasanya ada di posisinya kini. Hatinya pasti remuk redam. Begitu hancurnya hingga tangis pilu terdiam takkan mempengaruhi apapun. 

Ia masih saja mencoba tersenyum pahit, guna mengelabui hati dan harinya, akan baik – baik saja. Maafkan daku, kawanku sayang, di hari tergelapmu kini aku masih saja di kota dingin ini, jauh darimu, jauh dari pelukan hangat yang ingin rasanya ku bagi denganmu, jika saja itu bisa meringankan hati pedihmu. Walaupun secuil saja.
Maafkan aku..

Mengapa janji begitu mudah terucap, begitu pun mudah terlupa?
Tak kurang 6 tahun ia perjuangkan semuanya dan tiba – tiba bak di sambar petir semua impiannya runtuh seketika. Seakan tak berbekas. Hilang begitu saja. Hati wanita mana yang tak hancur remuk redam? Jika lelaki yang ia begitu cintai, yang ia perjuangkan dengan tangis dan darah, mendadak berpaling dan meminang gadis lain yang lama hari mengenalnya pun dapat dihitung jari?
Tiba – tiba saja cinta itu menguap di udara. Bersama janji – janji palsu yang kini tak berarti lagi. Seakan kehadiran karibku tak membekas apapun di hati lelaki kurang ajar itu! Betapa manusia begitu kejam lagi menakutkan untuk sekedar menaruh harap dan percaya! Semudah itukah hati berbalik dan tiada berbekas? Jika saja membunuhnya tidak berdosa, mungkin kini aku sedang berdiri di depan halaman rumahnya, menggengam belati hingga dia rasa sakit menghujam seperti apa yang Ia dan aku rasa. Tega nian menghacurkan hati sahabatku yang ku tahu pasti tak ada sedetik pun ragu padanya!!! Aku marah bukan untuk cinta yang tidak jadi, namun karena begitu mudahnya terganti!!! Semudah itukah hati terhenti?  

Namun itu hanyalah angan muramku. Khayalan sesat terdalam. Andai yang berbahaya. Kenyataannya, hanya sanggup ku sampaikan kata – kata penghiburan. Yang meringankan sesak di hatinya pun tidak. Hanya dapat ku berdoa dalam sepi, semoga waktu mampu mengikis, duka itu lapis demi lapis.

Lalu mengapa kami berdua sama – sama tak beruntung?

Tak sampai hati ku ceritakan apa yang terjadi dengan hati milikku. Yang kini berdebu, lagi – lagi berkat janji lama yang aus tergerus masa. Hati manusia adalah hal yang paling rapuh. Serapuh debu yang tertiup angin, menyaruk nyaruk tanpa arah. Entah kemana.
Jika saja kau punyai sedikit keberanian untuk mengakuinya. Untuk menjawab jujur apa yang selama ini menghantui tidurku. Sederet kalimat yang masih saja memberati langkahku dalam setitik harap yang membekap. Menenggelamkan asaku hingga kini tak kurasa lagi. Aku mulai tumpul pada sebaris tanya yang membelit hati, melumpuhkan raga.

“ Aku tak lagi mencintaimu. Maaf, untuk tidak menepati janjiku.”

Semudah itu membebaskanku. Semudah itu.
. . .

Duhai, Rachma sayangku..
Pahit yang ku sesap ini tak ada apa apanya dibanding sedih yang meliputi hatimu. Sungguh tak dapat ku bayangkan berada di posisimu kini. Kau sungguh berani, lebih kuat dari aku yang kerjaannya sok macho sok tegar tapi nangisan ini. kasihi apa yang ada dalam dirimu dulu ya? Jangan kau tutup pintu hati itu seperti milikku yang kini sedang macet ini. kau berhak didalam dekapan lelaki yang kelak menuntunmu ke surga, yang sayangnya melebihi sayangku padamu. Setulus punyaku. Ingat, Gusti Allah akan menepati janjinya.

Tak usah kau hiraukan ocehan usil orang lain, mereka tak mengetahui detailnya sepertiku. Abaikan saja pertanyaan pertanyaan jahat itu. Tersenyumlah saja, dan lihat, betapa kikuknya mereka menghadapi kamu yang tenang menghadapi hari yang bisa begitu pahit.

Semoga waktu mengijinkan kita
tertawa terbahak – bahak melupakan ini semua di ramainya jalan kota bangkok,
teriak memaki dia – mu dan dia – ku yang menyebalkan itu di tepian pantai pattaya,
lalu tersenyum sumringah seakan masa pahit ini terlampaui begitu saja.
doakan aku masih memiliki sisa umur untuk mewujudkan itu untukmu, Men!

Kita tidak kalah, sayangku!
Kita hanya melaju ke babak final berikutnya!
keren bukan?

Salam sayang,
Dari karibmu yang hobi menggalau balau
Meringis lalu nyruput cincau


Onti Cyn.