Surabaya
selalu saja mengingatkanku padanya, pada apa yang ku sayangkan pernah terjadi
dan pada apa yang kusesalkan tak pernah terjadi. Kamu begitu nyata pun jua
begitu fana untukku. Dan selalu saja hatiku tak bosan berkutat tentang kamu,
satu nama yang susah payah ku enyahkan dari benakku yang doyan melamun.
Siang
ini di kotaku, Malang, mendung gelap menggelayuti tepian awannya. Kota riuh nan
dingin ini mendadak sepi dan kehilangan pesonanya. Aku bebas pergi kemana saja
namun aku kehilangan ingin untuk beranjak, aku takut sepi. Sepi yang selalu
saja merajuk pada kesendirianku.
Rumah
kost yang ku tinggali ini sungguh sunyi, tentu saja karena ini tengah hari dan
para penghuni yang baik padaku tengah sibuk mencari uang. Hanya tinggal aku
seorang diri dan ketidakmampuanku. Aku senang saja dengan suasananya yang sunyi
walaupun tawa gaduh mereka pun aku tak mengapa. Sudah barang tentu kami para
gadis sibuk bergosip jika berkumpul atau sekedar bercuap – cuap membagi secuil
hidup mereka, hanya aku saja yang sibuk mengomentari tanpa pernah ikut berbagi
cerita. Apalagi cerita mengenai mu. Tidak, kamu sakit hati termanis milikku
sendiri. Biar tetap jadi milikku seorang.
Tiba
– tiba saja rintik hujan meruntuki atap kamarku. Ah sial. Seharusnya tadi aku
berangkat saja, kini perutku yang kosong hanya sanggup berdendang ria namun
tiada terisi. Aku hanya bisa menatap pada plafon yang sebentar lagi akan
menetes perlahan. Plafon bocor pun sanggup menghiburku kala itu. Rintiknya yang
berirama seakan mengalunkan melodi riang dari hujan yang selalu sedih. Ah hujan
selalu saja mencungkil pahit kenangan yang terajut di dalam aroma tanah yang
berbaur mesra dan nestapa.
Entah
mengapa hujan selalu menyapa setiap pertemuan ganjil yang kita lalui. Dalam
rintiknya memoar itu terjalin rapi dan membuatku susah lupa. Tentu saja susah
karena aku terlalu suka pada hujan. Kala itu hujan rintik – rintik merendengi
kita yang melaju di atas motor terburu – buru. Waktu telah menunjukan pukul 10
malam lebih dan setengah perjalanan menuju rumahku pun belum terlampaui. Aku
terlalu cemas hingga tidak memikirkan perasaanmu, uluran jaketmu pun ku tolak
halus karena aku terlalu takut akan berakhir terkunci di luar rumah dan
didiamkan ibuku selama seminggu. Bayangan itu sungguh menakutkan. Meskipun kecemasanku
memuncak entah bagaimana terselip harap rintik hujan itu melambatkan perjalanan
pulang kita. Aku masih ingin bersamamu lebih lama lagi.
Di
lain waktu, hujan tak selalu sedih. Hujan rintik pun tak sanggup meruntuhkan
senyumku di masa yang berbeda. Untuk pertama kalinya aku merasa begitu bahagia.
Kamu begitu mendadak mengajakku pergi, pergi jauh dari semua kerumitan sehari –
hari yang begitu membelenggu. Hanya kamu dan aku. Dan beberapa jam yang ku
pinjam dari hidupmu. Yang membekas di benakku kala itu hanya rintik yang manis
dan a candlelit dinner with inamorta. Dan tentunya mata lucu itu. Rintiknya
seakan melambai riang ikut bersorak pada hati yang diam – diam ingin berteriak
senang.
Tentu
saja hujan pun menyisakan tanda tanya. Tentang semua kekalutan yang tiada
berpunya dan tanda tanya yang tiada terjawab. Seberapa pun lamanya guyuran itu
menghujam bumi, ia tidak bergeming dan hanya terdiam. Diam yang menyakitkan.
Aku tak pernah tahu kepada siapa hati itu tertuju seperti hujan yang tak tahu
hendak menghapus pilu punya siapa. Yang butir – butirannya tahu ia hanya jatuh
dan jatuh. Berdebam tiada bersua. Seperti hujan di Malang dan terik di
Surabaya.
Hujan
jangan bosan ya? Temani aku hingga pelangi harap menjelang atau genangan lumpur
kenangan yang semakin menyesatkan. Aku selalu saja suka hujan, dan kamu. Kamu
yang terguyur hujan atau hujan yang membasuh bayangmu. Aku rindu hujan – hujan.
Terlebih menatapnya rintiknya kala bersamamu, atau terpisah jalan tanpamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar