Jumat, 07 Juli 2017

Muak.




Adakah yang lebih keji dari hidup sebagai gadis di tengah gerombolannya? Mereka saling puji jika kau di lingkaran namun jika kau tak hadir di tengahnya tentu saja akan jadi bahan pembicaraan sadis yang tidak berkesudahan. Bibir manisnya itu penuh dengan racun cacian. Terkadang aku muak jadi perempuan dan tetek bengeknya.

Mungkin di mata kaum pria kami mahluk ajaib bak peri – peri dan sejuta keindahannya. Sadarlah kawan, aslinya pun lebih buruk dari apa yang bisa kau bayangkan. Begitu juga pun aku. Karena sebenci apapun aku terhadap bayangan yang memantul di cermin, aku tak mampu mengeser kodratku sebagai wanita. Yang selalu saja berpura – pura semua akan baik baik saja. sebagaimanapun kuatnya ku menyanggah keinginanku untuk jadi laki – laki saja.

Sudah jadi rahasia umum cacian kami abadi di tepian bibir manis bergincu ini. ada saja topik yang bisa dimaki pun ada saja kekurangan yang patut di bahas. Tak jarang untaian kata – kata berbisa yang mampu memporak porandakan hatimu dan menghasut jalan pikiranmu.

Kami mendewakan benda mati untuk saling merasa lebih tinggi dari satu sama lain. Untungnya aku miskin, aku lebih menghargai apa yang bisa di raih dengan segenap perjuangan apapun bentuknya dan berapapun harganya. Penghargaan mereka sering kali begitu absurdnya. Ada yang rela menjual harga diri demi memenuhi apa yang hanya bisa di beli di bumi demi rasa sombong dan kebanggan sesaat pun ada yang rela menggadaikan kemaluannya untuk cinta yang harusnya datang tiada bersyarat.

Untung saja aku tak begitu cantik dan sudah bosan berjalang ria demi yang katanya dulu “cinta”.
Mereka lihai memasang senyum palsu dan berakting saling suka satu sama lain namun nyatanya saling menggenggam pisau di balik punggung. Bersiap menikam siapa saja diam - diam. itulah mengapa aku lebih suka mengunci diriku dalam kamar gelap, menarik sejauh mungkin dari peradaban. Bukan karena aku malu atas diriku, lebih karena aku mempercayai diriku sendiri ketimbang siapapun di dunia ini. karena sejatinya manusia mudah berubah. Dan aku benci atas inkonsistensi sikap penuh dusta penebar luka itu. Biar saja aku mati melapuk, lelah rasanya di sakiti orang yang kau percayakan hati dan hidupmu, lagi dan lagi.

Selalu saja hadir jika butuh, selalu saja manis jika ada mau, selalu saja lupa terima kasih tapi paling pandai memaki di balik tirai, selalu saja berdalih cinta tapi menuntut ini dan itu, jika mereka beruntung untuk cukup cantik memasang kode ini dan itu dan mendadak jejeran lelaki siap memberi dan berbondong – bondong datang menghampiri, selalu saja sibuk menanyakan berapa harga daripada upaya dan cerita, selalu saja heboh untuk di puji, selalu saja membodohi diri sendiri dengan sibuk foto narsis yang sudah di utak atik sedemikian rupa.

Mengapa begitu memuakkan?

Sungguh bersyukur terlahir tidak begitu cantik untuk dapat “di jual” sebagai simpanan penghancur rumah tangga orang, sungguh bersyukur tiada begitu mendewakan gadget dan mencoba sekuat tenaga untuk selalu membumi dan lebih mementingkan welas asih serta komunikasi dua arah, sungguh bersyukur mencintai diriku apa adanya sebagaimanapun celaan silir berganti datang menghampiri, sungguh bersyukur telah menghadapi begitu banyak cobaan gila yang maha dahsyat sehingga pilihan paling berani untuk tetap bertahan hidup adalah keputusan terbaik saat godaan untuk mengakhirinya selalu saja menghantui. Selalu bersyukur untuk selalu tetap bersyukur. Selalu bersyukur karena tercipta berbeda. Apa adanya. 

Aku mungkin sama jahatnya seperti mereka. Tapi aku lebih memilih nampak buruk daripada harus hidup seperti kebanyakan.

Biar ku tempuh jalanku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar