Sabtu, 28 Februari 2015

Malam - Malam

Baru saja ku menyadari, sepi tak selalu sedih dan sendiri pun tak selamanya sepi. Bahkan hatiku tak lagi terusik sebal saat ku liat sejauh mata memandang begitu banyak pasangan asik bercengkrama, bergandengan tangan bak truk gandeng tak mau dipisah. Hari itu malam sabtu, ku nikmati pemandangan sekitar disudut temaram, sudut itu dan kursi empuk serta meja mungilnya adalah kawan lamaku, aku selalu duduk disudut ini dan tak pernah pindah ke tempat yang lain, lalu aku tenggelam dalam keasyikan menyeruput kopi hitam pahit favoritku dan tak lupa kepulan asap tembakau menemaniku. Café dengan interior cantik namun berkesan vintage ini nampak penuh namun tak terlalu sesak, dikejauhan mengalun tembang lawas yang bernada swing mencoba merayu dengan nada – nada manisnya. 

Disudut jauh sana mataku terpaku pada sepasang layaknya kekasih yang memakai busana dengan warna senada, kuperhatikan seikat mawar tergeletak merana di meja mereka, sejoli itu saling duduk bersebrangan namun sibuk dengan gadget dan dunia masing – masing, tertunduk dengan senyum dibibir, berdua namun tak terlihat bersua. Aku tersenyum kecut dan mengalihkan pandang.

Mataku terhenti pada sekelompok pemuda tampan yang duduk melingkar dimeja bundar dan tertambat di sofa empuk, dan lagi – lagi ku lihat pemandangan itu, mereka saling menggenggam mesra smartphone canggih besutan terbaru, terpaku, dan terdampar dalam diam. Ada yang asyik mengabadikan kopi berbusa lucu dimeja itu dan ada juga yang asyik mengetik cepat di layar sentuh bak sambaran kilat. Aku termenung, sepertinya seisi ruangan ini hanya aku seorang yang datang sendiri, namun mengapa rasanya mereka semua nampak sepi? Kemanakah gelak tawa nyata itu pergi?

Kuseruput kopi legam itu perlahan, aromanya yang memabukkan membuatku selalu jatuh cinta padanya, bahkan sabun mandiku pun beraroma kopi, dan tak jarang dirumah pun aku selalu menyempatkan mengubahnya menjadi lulur untuk kulit tan eksotis milikku ini. aku tak keberatan dengan pahitnya, hidupku toh tak lebih pahit darinya. Namun nikmatnya selalu membuatku bersyukur dan lagi - lagi membuatku berakhir sendiri di pojokan café ini.



Rintik hujan mulai menitik di jendela tepat di sebelahku, kupandangi lekat – lekat butirnya yang meleleh dan saling berkejaran riang menetes pelan lalu hilang dari pandang. Ah, mendadak ingatanku melompat pada payung mungil motif bunga biru lusuh yang masi menggantung lunglai didekat pintu kamarku. Sialan! Aku lupa membawanya dan membayangkan aku pulang menembus malam mencoba mendekati mobil mungilku dalam guyuran hujan yang semakin deras dan dingin yang merayap masuk memeluk tulang saat kunyalakan AC didalamnya. Bayangan dingin membeku itu membuatku bergidik. 

Ku hembuskan nafas berat sembari melempar pandangan sebal ke jendala lagi sambil berusaha mengenyahkan kekesalanku. Hebusan nafasku yang terlalu dekat dengan kaca berubah menjadi uap buram, sontak tanganku meraih kaca dan menghapusnya pelan dalam sapuan. Saat itu mataku terpaku pada sesosok bayang yang membelah hujan, bertudung jaket hoodie abu – abu dengan senyum lebar ia menyeruak hujan begitu saja. Aku mengikuti sosok itu yang berdiri sambil mengibaskan tangannya yang basah di tepi pintu café, setelah melepas jaket hoodienya dan meninggalkannya begitu saja tergeletak di kursi depan ia mendorong pintu café sampai terbuka dengan tangan kiri dan mengacak rambut basahnya dengan tangan kanan. Mataku yang masih saja jahil mengikuti bayangnya yang memilih duduk di kursi tinggi yang tertata mirip bar dekat dengan dapur seraya berbincang dengan bartender. Sepertinya aku mengenalnya tapi entahlah ku rasa ada kejutan listrik dalam hatiku saat kuikuti bayangnya dengan pandangan penasaran.

Ku raih gelasku yang mulai kosong dan dingin itu lalu meminumnya hingga habis. Pahit langsung menyeruak lidah namun tak mampu mengalihkan rasa penasaranku pada sesosok lelaki tersebut. Sambil melambaikan tangan seraya memanggil kakak waitressnya, aku memandangi punggungnya yang duduk jauh disebrang sana, kucuri lihat ia sedang asyik meniup kopi panasnya sambil menggoda mas – mas bartender yang menurut asumsiku ialah kawannya atau seseorang yang ia kenal, ah berarti ia sama – sama pengunjung tetap café ini sepertiku. Saat kakak waitressnya mendatangiku dan segera menanyakan apa pesananku selanjutnya aku memesan secangkir kopi hitam mandailing (lagi) dan sepiring pizza bakar. Pesanan terakhirku ini membuat kakak waitressnya (kali ini yang datang namanya Rumi, gadis cantik dan lincah yang rambut lurusnya selalu dikucir ekor kuda, ia sebetulnya sangat cantik hanya saja entah mengapa ia selalu terlihat murung saat berhadapan dengan pengunjung caffe) yang sudah lama mengenali seleraku sedikit keheranan. 

“hmmm, untuk isian topingnya kak lily ingin varian yang mana?” tanyanya sembari bersiap menulis pesananku dengan cekatan

“ apa aja deh rum, yang recommended dari kamu aja”

“oke kak, kakak lapar ya? Ga biasanya deh pesen pizza, kakak kan biasanya minum kopi sampai kenyang” tanyanya penuh selidik dengan nada bercanda dan tak lupa senyum cantiknya mengembang begitu saja

“ iya nih rum, lapernya level dinosaurus, nanti kalo gak habis bantuin yah rum? Aku traktir frappe kesukaanmu deh”

“beres kak, ntar kalo café udah agak sepi Rumi temenin deh!”  sahutnya riang,

Ah! Rumi memang paling cantik kalau sedang lupa bermurung ria. Rumi lalu berlalu dan membawa pesananku ke arah bar dan menyorongkan kertas itu pada bartender yang berdiri dibalik meja bar dekat dengan ia, sama dengan Rumi, mas bartendernya mendadak bingung saat membaca kertas pesananku lalu ia tertawa dan menyorongkan kertas itu ke bagian dapur dan meninggalkan ia sendirian. Ya, kuakui ini diluar kebiasaanku, aku biasanya datang kesini hanya untuk memesan lebih dari secangkir kopi, baik kopi hitam maupun frappe dingin dan tak lebih. Entah mengapa suasana hatiku yang mendadak membaik dengan seiring kedatangannya membuatku ingin memesan yang aneh – aneh, atau hanya alibi saja agar bisa duduk bersama Rumi, membuatnya menghabiskan potongan besar pizza bakar itu dan mencercanya dengan pertanyaan seputar ia, entahlah, malam hari itu mendadak diluar kebiasaanku.

Kualihkan perhatianku untuk menyalakan batang rokok keempat malam itu, sembari menikmati asapnya pelan, mendadak telepon genggam bututku berdering riang, kulirik sekilas dilayarnya tertulis “mantan, JANGAN DIANGKAT” ah, dia masih saja tak menyerah. Tak ku gubris dering bisingnya berkali – kali, aku sudah muak dengannya dan memilih mengamati pengunjung café dalam diam, café mulai sepi, hanya tersisa aku, ia dan sepasang sejoli yang terisak di kejauhan, aku pun mulai penasaran seperti biasanya dan mulai mengamati pasangan itu, pasangan itu berbeda dengan pasangan yang ku amati sebelumnya, gadis teramat cantik itu mengenakan kaos oblong hitam bergambar panda wwf yang dipadu celana jeans dan sepatu boots, sangat kontras dengan kecantikannya yang sangat feminim, gadis itu nampak bosan, menyilangkan tangannya didada dan duduk bersebrangan dengannya seorang lelaki, perawakannya biasa saja, ia mengenakan kemeja bermerk dan sepatu kets, nampak sedang terisak dan memohon kearah si gadis. “oh mungkin saja mereka sedang bertengkar atau mungkin saja lelaki tersebut ketahuan selingkuh” ujarku dalam hati berasumsi. Yah aku selalu suka berasumsi sembari jahil memperhatikan sekitarku.

Tak lama kemudian Rumi datang dengan senampan pesananku, ia meletakan hati – hati cangkir kopi milikku dan frappe caramel favoritnya lalu sepiring besar pizza bakar. Pizza itu sungguh menggoda, topingnya terisi penuh dan nampak keju mozarellanya masi meleleh. Ah mengapa baru kali ini aku memesannya, pizza ini sesuai dengan ekspektasiku, karena aku cenderung pemilih dan bawel kalo soal makanannya dan berujar dalam hati aku akan mulai memesan ini dikemudian hari.

Rumi melesakkan dirinya di sofa empuk diseberangku, ia nampak letih namun lebih ceria dari biasanya. Ia menyeruput frapenya lahap, meletakkannya dan mulai menyobek pizzanya lalu meletakkan potongan pizza itu ke piring kecil dan menyorongkanke arahku 

“ kak lily, ini deh cobain, dijamin enak deh! aku tadi request sama mas joni si chef buat ngasih topingnya spesial agak banyakan, biar kakak klepek – klepek gitu” lalu ia tertawa menggodaku

“ah rum, kamu ini bisa aja.  Kelihatannya sih enak, aku cobain yah” aku lalu meraih potongan pizza itu, dan benar kata Rumi, pizza itu enak sekali, bahkan lebih enak dari buatanku. Aku menghabiskan sepotong dan lalu meraih kopi panasku, nikmat sekali rasanya. Kulihat Rumi masih asyik menyeruput frappenya lalu kulontarkan pertanyaan iseng yang sedari tadi mengganggu pikiranku, saat kulihat ia masih asyik mengobrol dengan Mawan, si bartender.

“rum, kamu kenal sama mas – mas yang didekatnya Mawan itu gak? Kok aku ga pernah liat ya?” tanyaku dengan hati – hati. Rumi  lalu meletakkan gelas frappenya dimeja. “ loh, aku kira kak lily udah kenal. Itu mas Hakim kak. Sama deh kayak kakak, pengunjung setia disini, oh mungkin mas Hakim sering kesininya siang – siang kali ya jadi jarang ketemu kak lily. Dia itu selalu bikin heboh waitress disini kak, maklum masnya udah ganteng ramah lagi, wah Rumi besok bakal dicerca habis – habisan ini kalo temen – temen shift siang tau mas Hakim kesininya malem – malem. Biasanya sih kalo siang dandannya kayak anak kuliahan yang rapi banget gitu kak, kalo ga wifiian sambil bikin skema ruwet ya hobinya nanya – nanya sama bartender disini. Biasanya sih pesennya kopi item aceh gayoo kak. Mas Hakim mah kalo duel minum kopi item saingannya kak lily ini. dia bisa pesen 2 sampe 3 gelas gitu sama kayak kakak, padahal Rumi disuruh minum satu aja ga bakal habis deh, paitnya itu hlo, duh Rumi ga kuat hahahaha” Rumi lalu meraih potongan pizza dan mulai melahapnya, kasihan gadis ini sepertinya ia belum sempat istirahat makan karena café lumayan ramai bisikku dalam hati. Aku masih memeluk cangkir hangatku dan meliriknya lagi, ia sedang menatap layar telpon genggamnnya dalam diam, entah apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran indahnya, ku harap andai saja aku mampu menerawangnya tanpa perlu bertanya.

Malam mulai beranjak larut, pizza itu ludes (aku dan Rumi sama – sama meghabiskan dua potong besar dan kami kekenyangan), frappe Rumi habis tak bersisa, dan begitu juga dengan cangkir kopiku. Kami sama – sama menghenyakkan diri tenggelam disofa nan empuk itu. Dikejauhan joni dan Mawan sudah mulai bersih – bersih dan membalik kursi, kini yang tersisa hanya aku, ia dan staff café ini. aku merasa lelah namun senang, ketika Mawan dan joni sudah selesai beberes, kuraih tas merah munggilku memasukkan telpon genggam dan meraih dompetku, saat Rumi mulai menumpuk gelas kotor dan melap meja aku berdiri ke arah kasir yang berada tak jauh disebelah kanannya, oh mendadak hatiku berdenyut lincah saat jarak kami hanya terpaut 3 langkah kaki, aku mencoba tetap santai , menghembuskan nafas pelan dan berharap tidak salah tingkah, Mawan sudah bersiap dibalik kasir sembari tersenyum simpul, seperti anak sd semangat menunggu jam pulang sekolah. Mawan lalu mengetik semua pesananku ke mesin kasir. 

“oh iya wan, frape punya Rumi jangan lupa ya” ujarku saat melihat ke arah monitor kasir tersebut

“kok tumben kak pesen pizza? Rumi itu apa aja disodorin bakal dihabisin kak, kecil – kecil gitu makannya banyak” timpal Mawan saat mengetik kode pizza di mesin kasir sambil tertawa 

“biarin tho wan, toh saya juga ga bakal habis kalo makan sendirian, Rumi kecil – kecil gitu kamu naksir aja hlo wan wan, hayoooo kamu kapan berani bilang sama bocahnya” ujarku berbisik menggodanya. Ya karena terlalu sering ke café ini, seringkali tak sengaja aku mendapati Mawan dibalik meja bartendernya mengamati Rumi bergerak lincah kesana kemari. Kapan hari itu saat Rumi sedang tak enak badan dan tak sengaja memecahkan cangkir bekas kopiku, Mawan cekatan membantunya dan menyuruhnya istirahat dan bersedia menggantikan tugas Rumi, namun Rumi menolaknya, karena ia tahu ia harus menyelesaikan shiftnya apapun yang terjadi. Ah kisah mereka ini suatu saat akan ku abadikan dalam bidikan usil kameraku. 

Mawan yang aku counter attack itu cuma bisa meringis lalu menyebutkan total harga yang harus aku bayar, aku menarik dua lembar biru puluhan ribu itu dan menyodorkan ke arahnya. Saat Mawan sibuk menghitung kembalian dan mencari receh 500an, aku melirik ke sisi kiriku, kulihat ia masih asyik menggoyangkan cangkir kopinya yang tersisa sembari memikirkan sesuatu. Ingin rasanya aku menghampirinya dan menepuk pundaknya begitu saja, namun kutahan karena aku tak sanggup memikirkan kalimat selanjutnya. Andai saja kulepaskan sisi impulsifku mungkin malam itu akan berakhir berbeda. Saat kuterima kembalian dari Mawan aku lalu berbalik berjalan ke arah mejaku dengan langkah sedikit kecewa karena kenekatanku akhirnya kalah dengan akal warasku, lalu ku dapati mejaku sudah bersih dan Rumi masih melesak disofa empuk itu namun sudah membawa jaket serta tasnya yang tergeletak disisi sofa

“ kak, Rumi nebeng boleh? Rumi sungkan kalo terus – terusan nebeng Mawan nih kak.” Ujarnya terus terang

“yakin nih rum? Aku sih gak apa – apa, ayok aja deh, tapi kamu sudah bilang Mawan belom?”

“errr, belum sih kak, yaudah bijim dulu yah kak, aku mau bilang Mawan” ia lalu mendadak berlari kecil ke arah dapur kuikuti langkah Rumi dengan lirikan mataku dan kulihat ke arah meja bartender ia juga sedang asyik bersiap untuk pulang namun dalam diam terhenti entah sedang menunggu apa. Rumi kembali kearahku dengan langkah gontai dengan raut muka masam dan tak jauh darinya diikuti langkah Mawan, membawa tas dan jaketnya juga berjalan pelan beriringan dengan senyum lebar. 

“ kak, kalo mawan nebeng juga boleh gak? Ini tadi sepedanya mogok jadi aku berangkat kerjanya naik bemo tadi kak, pas rumi bilang mau nebeng kakak yaudah sekalian aja mawan mau ikut hehehe” mawan tersenyum lebar, aku tahu pasti alasanya tersenyum lebar karena ia akan pulang lagi – lagi bersama rumi walaupun motornya sedang mogok. Kulihat ke arah rumi ia nampak kesal namun pasrah, taktiknya menghindar lagi – lagi gagal total. Aku hanya tertawa jahil 

“ ayo dah, toh komplek kos – kosan kalian gak jauh dari kontrakan saya, ini mau pada mampir makan atau langsung pulang? “ rumi mendadak membelalak sebal ke arahku dan mawan tersenyum kegirangan. 

“rumi langsung pulang aja deh kak, lagian udah malem kasian kak lily ntar” sanggahnya tangkas. Aku hanya sanggup tertawa lagi saat melihat mawan mendadak lesu. Aku berjalan beriringan dengan rumi ke arah pintu, mawan menghampir ia yang tengah berdiri diam di tepian pintu dan joni sang chef mulai mematikan lampu café satu persatu dan menunggu kami keluar dari café untuk menguncinya, saat mawan tengah berjalan bersisian dengan rumi ke arah mobilku ku lihat ia melangkah pelan ke arah jalan raya di sisi kiri, ia memasukan tangannya ke dalam saku celana jeans sembari menendangi krikil di tepi jalan, ia nampak kesal, ada suatu hal yang menganjal benaknya. Saat aku melambaikan tangan berpamitan pada joni, chef yang pendiam itu, mataku tertuju pada jaketnya yang tergeletak dikursi depan café, ia lupa membawanya, kuraih jaket basah itu dengan segera dan berlari kecil kearahnya, jantungku berdegup ceria, tanpa sadar aku tersenyum lebar saat mencoba melangkah mendekatinya

“mas hakim, mas hakim” teriakku memanggilnya karena ia berjalan cukup jauh dariku, ia membalikkan badannya pelan, dan mendadak matanya berbinar saat melihatku. 

“ mas—jaketnya, ketinggal—an “ aku mengangsurkan jaketnya sambil mencoba mengatur nafasku yang tersenggal, aku memang tidak begitu cocok berlari. Kombinasi deg – degan dan nafas yang terputus satu dua membuatku lupa menjaga image. Aku hanya dapat memegangi bagian depan dressku sambil megap - megap 

“errr, terimakasih. Kok kamu tahu namaku?” ia memandangiku dengan heran dan tetap sambil tersenyum lebar. Duh, gusti senyumnya mendadak menyeruak meleleh hangat kehatiku.

“ saya—tadi tanya— kerumi mas” ia lantas menepuk punggungku saat aku bertumpu dengan tangan di lutut mencoba mengatur nafas

“maaf ya, saya membuatmu jadi ngos - ngosan gini.  Ada yang bisa saya bantu” ujarnya pelan
Mendadak hatiku membuncah girang “mas mau pulang?” tanyaku singkat

“iya, tadinya saya hendak berjalan kejalan raya mau nyari taksi , errr dengan mbak siapa ini? tanyanya halus sambil mengangsurkan tangannya

“ saya lily mas, kenapa ga bareng kita aja mas, kebetulan si mawan sama rumi nebeng saya juga mas” sambil menjabat tangannya, tangannya terasa hangat, genggamannya erat ah ingin rasanya tak melepas jabat tangan itu, saat melepas tanganku ia nampak bingung, antara kikuk dan mempertimbangkan sesuatu.

“yakin nih mbak, rumah saya cukup jauh dari sini hlo”

“sudah mas, daripada naik taksi mahal, toh kita rame – rame pulangnya.” Lalu mendadak aku menggamit tangannya, menariknya pelan. Sesaat ia menggenggam tanganku erat saat seperkian detik aku tersadar dengan aksi nekatku itu aku segera melepas tangannya dan berlari kecil kearah rumi yang nampak sebal minta diselamatkan dari sepikan mawan. Malam itu, hawa kota kami memang sedingin dataran tinggi pada umumnya, bahkan ketika kami saling berbincang terlihat uap keluar dari hembusan nafas kita namun entah mengapa malam itu hatiku terasa hangat dan terasa ringan, seakan gundah sore tadi tak pernah hadir dan mampir. Semoga saja ini langkah kecil menuju hatimu, mas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar