Jumat, 01 Mei 2015

Redup, membiru




Aku selau berusaha dengan susah payah melupakan setiap lincah geriknya, memaksa otakku untuk mereset betapa senyum yang dulu pernah dengan keji ku abaikan begitu saja. Ia yang kini entah kemana rimbanya dan aku dengan siksa mendera menyelubungi hatiku yang kini tak mampu menghentikan sapuan gelombang pasang kenangan ini bahkan dengan cucuran getir air mata. Aku terdampar  di kenyataan hampa ini. Aku sanggup hidup tanpanya, namun hidupku takkan pernah sama lagi.

Kuingat potongan pertama memoar itu. Aku mengenalnya pertama kali saat menginjakan kaki di bangku sekolah menengah pertama. Ia dengan ikatan rambut kuncir kudanya dengan senyum sumingrah yang selalu ku curi dalam diam dan di keheningan menangkap sinyal pendiam yang Ia coba sembunyikan dengan rapi. Ia sejatinya introvert sepertiku hanya saja yang tertangkap dimataku Ia berjuang dengan susah payah mencoba membaur. Ia dengan sejuta tindak tanduk yang tak masuk akalnya. Ia dengan tali sepatu dengan warna, motif bahkan simpul yang tak pernah sama satu dengan lainnya. Ia menentang dunia dengan cara konyolnya. Bahkan tak jarang aku menertawainya dengan lantang dan Ia hanya menatap mataku lekat, memakiku dalam diam, mencoba membungkamku.

Ia gadis paling aneh yang pernah ku temui. Ketika para remaja di sekolah kami berlomba – lomba memendekkan rok dengan memakainya tinggi – tinggi di perut mereka agar nampak sekelumit pemandangan paha menggoda Ia malah memakai rok jauh di bawah lutut, tak lupa rok ditarik kencang – kencang agar terpancang di pinggang bukan di lingkar perut. Ia begitu mencintai bola volly, seakan Ia hidup hanya berdua dengan bola itu di dunia ini. Ia benci berlari, karena nafasnya pendeknya selalu saja menyusahkannya. Ia selalu nampak tertawa dengan banyolannya anehnya mencoba melucu namun yang tertangkap di mataku hanyalah gadis yang mencoba sekuat tenaga melupakan kesepiannya. Menaklukkan perih dalam hatinya.

Aku tahu Ia tahu bahwa aku selalu memperhatikannya namun Ia selalu tak memperdulikan dan hanya bungkam. Ia selalu nampak sibuk membahas gebetan terbaru teman – temannya namun sangat sedikit yang Ia ceritakan tentang kehidupan pribadinya. Ia nampak dekat dengan mereka semua namun entah mengapa Ia juga secara bersamaan seperti sengaja menjaga jarak. Ia tahu suatu saat ini akan berbalik dan hanya Ia seorang yang dapat di andalkan untuk dirinya sendiri. Ia sulit mempercayai orang lain dan aku dalam diamku selalu asyik mengamatinya dengan spekulasi naifku.

Saat kawan kami membisikkan kabar slentingan bahwa Ia baru saja di campakkan kakak kelas yang ku tahu dari ocehan sekelibat yang lain di waktu istirahat Ia telah di duakan, namun Ia sama sekali tak nampak sedih. Ia tak bergeming. Ia hanya bertingkah seperti biasanya. Ia selalu menyembunyikan dengan rapi kekalutannya. Ia selalu menikmati kesakitan itu sendirian. Entah mengapa ku lihat sepotong diriku di dirinya. Seperti berkaca pada air tenang, riak kecil yang membesar menjadi gelombang itu mengusikku. Seperti hendak minta tolong namun Ia hanya terdiam. Ia tahu aku tahu rahasianya.

Ia biasa saja. tak cantik maupun tak kemayu. Kepribadiannya yang lincah bak anak kucing itulah yang memukau. Ku tahu pasti tak hanya diriku yang diam – diam mengamatinya Ia dari kejauhan. Jarak dan dinding tak kelihatan yang Ia coba bangun kokoh itulah yang memisahkan kami dari hatinya. Mungkin seglintir lelaki berpredikat “pacar-dan-akan-segera-menjadi-mantannya” itu membanggakannya bak tropi bergilir namun sejatinya mereka hanya terlalu bodoh dan buta. Mereka bahkan takkan tahu sebanyak apa yang ku tahu. Mereka mencoba berpura – pura paham tentangnya namun sepertinya mereka membabi buta membodohi diri mereka sendiri. Aku tahu pasti Ia takkan benar – benar jatuh cinta dengan lelaki tolol macam itu, Ia hanya sekedar bosan dan menjadikan mereka koleksi. Ia tak pernah sekalipun menaruh hati pada mereka. Tebakkanku mungkin hanya sedikit suka namun tak pernah cinta dan aku dengan naif dan penuh percaya diri, hanya aku seoranglah kemana Ia tuju kelak. Hanya aku.

Potongan memoar lainnya berserakan di mana – mana. Yang ku tahu pasti ketika pertama kali aku dengan nekat menyapanya dan ia menyambutku bak sahabat lama yang sudah lama tak pernah jumpa. Ia tersenyum suminggrah sembari sesekali meledekku. Kami sudah dewasa dan tak jarang tengah malam buta bertukar pesan denganmu bisa begitu absurd dan menyenangkan. Aku tak butuh alkohol berbicara, cukup kamu membalas pesan singkatku saja membunuh waktu yang menjemukan ini bisa begitu memabukkan.

Kamu kini bukan ia yang ku kenal dulu. Kamu kini tak basa – basi berkawan dengan awan gelap yang selama ini kau coba sembunyikan. Entahlah, mungkin kehilangan ayahanda tercintamu membuatmu lupa membual dengan senyum yang berat hati kau palsukan. Namun aku lebih suka dengan apa adanya kamu. Seakan takkan ada lagi beban berat yang mampu meruntuhkanmu, toh kamu sudah benar - benar runtuh. Senyummu kini benar – benar langka seringkali diam membisu menjadi kawan kita berdua. Tapi kamu tetap saja ia. Ia yang dulu suka diam – diam meracuniku dengan halusinasi naif yang sangat seduktif.

Kamu sedikit demi sedikit meluruhkan benteng kokoh tak kasat mata itu untukku. Secuil harapan yang pernah terpendam itu muncul menyeruak. Kamu gadis impian yang tak pernah nyata di hidupku. Sayangnya hatiku kini tak sepenuhnya bisa kamu monopoli. Ada gadis yang menculik perhatianku. Dia lugu dengan senyum menawannya. Kalem bersahaja. Sosok stabil yang begitu sabar. Dia tak sepertimu. Bila kamu bom waktu yang sewaktu – waktu meledak dia bak syal rajut nan hangat. Pelan, pasti, dan nyaman.

Aku mungkin tak mengapa dengan kamu yang hanya cukup di level ok. Ok artinya baik. Dan hanya baik sudah cukup bagiku. Namun dua kutub yang sama takkan menyatu. Sewaktu – waktu akan menolak atau butuh kerja ekstra keras agar beriak bersama. Sedangkan dia beda kutub yang akan selalu setia menempel denganku. Hatiku terbelah. Diam – diam aku merasa memiliki kalian berdua. Kalian berdua yang sama – sama tidak saling mengenal. Kalian berdua yang sama – sama tersakiti dengan pembenaran tidak warasku ini. namun aku masih saja terbelenggu disini.

Kamu mulai bosan. Kamu mulai merajuk. Kamu ingin sepenuhnya diriku. Tak hanya sekedar menerima separuh penggal dan separuh kelabu. Disisi lain dia mulai lelah. Mencoba memahamiku bisa begitu menyakitkan. Melelahkan. Ku biarkan kalian berandai – andai. Sekali lagi aku mengandalkan ia yang tahu. Kamu mungkin lupa.

Gejolak itu mulai pelik dan runyam. Aku sendiri tak mampu memastikan hatiku. Ketika kamu mulai ketergantungan denganku, dan aku dengan halus menampikmu. Ketika aku menginginkanmu, kamu berlari menjauhiku. Dua kutub ini benar – benar saling menarik namun nyatanya saling menolak. Aku pasrah. Ternyata aku jemu. Kamu pun menenggelamkan diri dengan sosok baru yang mungkin tak serba tahu sepertiku, tapi cukup sabar menyayangimu dan kamu yang letih pun menyandarkan bahumu pada lelaki itu. Bangsat! Aku dengan bodohnya melewatkan momenku dan tak dapat apa – apa selain menunggu. lagi.

Dalam renungan menungguku yang tak pernah habisnya, aku tahu kamu pun menunggu. Aku pun mengelabui imajiku dengan berkelibatan gadis – gadis yang jauh labih cantik darimu. Mencoba mengalihkan kemana hatiku hendak memberontak. tapi selalu saja berakhir dengan senyummu yang bak arsenik. Membahayakan.

Potongan memoar terakhir itu tersaruk di jejeran lemari penuh tumpukan buku. Ya, aku lagi – lagi secara tidak sengaja menculikmu. Kamu mulai redup. Tawamu masih serenyah dahulu namun tak lagi ku lihat sinar menyihir di matamu. Nampaknya kamu terlalu lelah dengan hidup ini. kamu bosan bermain dengan hati – hati yang tak pernah cukup konsisten seperti aku padamu. Namun ku akui baja angkuh pun akan remuk dimakan waktu. Begitu pun aku. Berkali – kali aku mengisyaratkan ingin menyerah. Kamu tahu tapi hanya diam. Kamu yang selalu menolak uluran jaketku dan memilih tercabik dingin asal bersamaku. 

Aku takkan mampu hidup terus begini. Kamu yang tak pernah sepenuhnya patuh. Kamu yang ku takutkan menutupi sinarku dengan tembok khayalmu itu. Kamu yang selalu saja membandel. Aku hanya sisa – sisa petualangan yang seperti kau pun sudah enggan. Kita pun berpisah malam itu dengan penutup malam dengan mencoba menolak cium hormat di punggung tanganku yang biasa kau lakukan. Ku lihat kau cukup tercabik dan mungkin membuat ciut nyalimu untuk mendekat lagi. Ku rasakan kita sama – sama terjebak, diketiadaan saling mencari. Ku ucapkan selamat jalan padamu di dinginnya udara malam yang memelukku pulang kala itu. Lagi – lagi dalam diam dan bisuku.

Aku menyapamu terakhir kali pada pesan singkat di situs jejaring sosial favoritmu. Kala itu kau mengumpulkan kenekatan yang tersisa untuk ganti menculikku guna berteriak riang dan memanfaatkan euforia dan pengaruh magis band favoritku. Ini kali kedua. Di mana kali pertama gagal begitu saja. ku akui kau cukup gigih jua. Semakin kamu gigih semakin aku mencoba berlari. Aku biarkan saja ajakan itu membeku dimakan waktu. Entah bagaimana perasaanmu aku tak lagi peduli. Sengaja aku menjauh dari dunia maya, mencoba memburamkan mataku dengan setumpuk kerjaan di dunia nyata. Kamu bak dongeng peri – peri. Semakin hari semakin fana. Mungkin membuatku terpana tapi entahlah apa itu masih cinta.

Mendadak saja potongan memoar itu mulai kabur seiring butiran air mata yang mengumpul di pelupuk mata. Ku pandangi sekeliling betapa tuhan dengan maha kuasa Nya menciptakan pemandangan yang begitu sejuk sekaligus mencekam sampai ke ulu hati. Danau tenang itu seraya memeluk hangat diriku dan dukaku sembari menghasut betapa menyenangkannya mengakhiri penderitaan ini dengan tenggelam didalamnya. Aku terduduk lesu di depan tendaku. Mencoba mengumpulkan harap kamu masih bernyawa di luar sana. Masih memeluk namaku dalam untai nafasmu. Mungkin biru membisu namun sorot matamu memanggilku. Ku pandangi kakiku mulai lecet parah disana – sini. Perih dan darah yang membeku kering sungguh tak lagi terasa jika dibandingkan berat yang kupikul di pundakku. Seolah pencarian melelahkan ini dapat mengurangi rasa sesak di dalam hatiku. Sesak menyesak yang sepenuhnya masih tidak mau begitu saja merelakanmu. 

Hari ini hari keduapuluh pencarianmu, hampir dua minggu lebih dan tiap harinya adalah neraka bagiku. Berhari – hari aku menjeritkan namamu di igauanku. Seraya tak cukup ku teriakkan namamu di siang hari. Pandangan sahabat karibku begitu menusuk, merayuku untuk menyerah dan mengakui kekalahan. Aku masih tak mau menyerah walau separuh lebih dari tim sudah kehilangan harap apalagi kemarin sandal gunungmu ditemukan tertinggal dibawah pohon, tergeletak begitu saja, menyilang. Bahkan para sherpa sudah membujukku pulang karena sisa pencarian ini akan sia – sia. Kamu takkan pernah ditemukan lagi. Alas kaki yang ditemukan menyilang menandakan tubuhmu sudah menghilang. Di kaki gunung Semeru aku menangis tersedu – sedu dalam diam. Menyesali tiap serpihan memoar yang tertinggal. Memaki diriku yang membiarkanmu meredup. Meruntuki diriku yang tak mampu melakukan apapun demi menjebol benteng maya itu. menghakimi diriku sendiri yang begitu bodoh dimakan gengsi yang sangsi akankah ini terjadi bila ku rakit untai memoar itu dengan tangan terbuka. Andai nan jahanam.

Aku tersaruk ditengah lautan hamparan bunga ungu yang pasti akan kau suka bila berjalan beriringan denganku saat ini. ini adalah padang terindah yang pernah ku lihat dengan mataku selama hidupku di muka bumi ini. Beberapa detik kuhabiskan terlena dengan pesonanya dan betapa bahagianya bila kita berakhir disini berdua. Aku tak perlu puncak demi gengsi semata. Aku hanya butuh pemandangan menakjubkan ini denganmu disisi dan itu saja sudah cukup untukku hidup abadi. Aku melangkah pelan di ujung akhir rombongan yang tersisa di oro – oro ombo, merajut harap untukmu. Mendadak saja mataku terantuk ngantuk. Begitu berat pelupuk mata ini hingga tak sanggup lagi ku tepiskan rasa lelah yang merajuk manja. Ku rebahkan tubuhku begitu saja di tengah padang savana. Di antara alam sadarku, ku rasakan hangat di sisi kananku seakan kamu ikut terbaring mesra mencoba mendekapku. 

Biarkan aku selamanya begini. Aku tak ingin beranjak. Hanya kamu dan aku serta bunga ungu dan cinta yang tak pernah sampai berhamburan di udara. Kau mendekapku erat, antara tak ingin melepasku dan separuh lagi ingin menyakitku. Aku tak lagi peduli sakit mencabik ini. jika ini harga yang harus dibayar untuk memeluk senyum bungah itu lagi tak jadi soal. Semilir angin hangat itu berhembus disisi wajahku yang tak keruan rupanya antara air mata yang mengering bercampur debu dan luka yang tersisa sedangkan sisa tubuhku yang lainnya mulai menggigil dan nyaris membeku. 

Angin hangat disisi itu mengingatkanku pada dua memoar terakhir yang begitu berharga yang aku punya. Kala terjebak di lift sepi denganmu dan jembatan ditengah kota. Dua – duanya biasa saja namun selalu mampu membuatku tersipu malu. Dua – duanya berakhir dengan diriku yang nyaris menolak dan separuh pasrah menghadapimu yang fluktuatif. Dua – duanya berakhir dengan kecup hangat mendarat di pipiku yang bersemu darimu. Tak ku sangka kali ketiga ini jadi yang terakhir kalinya. Aku lelah, berlarilah sebebas kijang di alam bebas, sayangku. Biarkan saja aku membeku haru biru menyusulmu.