Jumat, 31 Oktober 2014

Es

Kadang aku masih suka berandai - andai. Andai saja sekarang aku merajuk meminta semangkuk es padamu, pasti langsung kau turuti walaupun kutahu kita sama sama tak punya uang lebih yang tersisa didalam dompet. Andai saja kuceritakan semua penat yang meruntuki di kepalaku ini, kamu pasti dengan konsentrasi penuh mendengarnya tanpa kupaksa. Seakan semua bualanku ini akan keluar disoal ujian esok hari. Kamu dengan wajah sayu tapi pemerhati kelas kakap dan aku dengan pipi bulat dan sejuta onggok kebodohan tentang andai. Tentang kita.

Ingatanku melompat pada waktu itu. Kala itu rintik hujan membuatmu geram. Ya, kau tak suka hujan dan justru aku mencintai rintiknya dengan sangat. Kau berhentikan motor matic kesayanganmu di warung lesehan favorit kita berdua dimana tak jarang ibu pemiliknya menggoda kita untuk segera mencetak undangan. Hari itu aku sedang kelaparan dan kamu sedang malas makan. Aku yang tukang merengek memaksamu untuk tetap makan lalu kau ajukan syarat; kita habiskan sepiring berdua. Aku yang selalu menyukai tantangan akhirnya menyanggupinya tanpa basa – basi. Segera ku pesan nasi dengan lauk jamur tepung serta sambel terong kesukaanmu. Saat itu warung sedang sepi padahal biasanya tak jarang kita harus menunggu setengah jam hanya untuk mendapat tempat untuk duduk. Kau habiskan terong dengan lahap dan aku malah asyik meraih es batu dalam gelas es jeruk nipisku. Kaupun beralih memperhatikanku, lalu dengan sadis merebut es batu yang nangkring di sedotanku dengan tangan saat mulutku tanpa malu sudah mengap dengan indahnya hendak melahap dan mengunyah es batu itu dengan keras. Ya, aku suka menggilas es batu dengan gigiku. Tak jarang kau hanya diam dan mengerutkan wajah dengan ekspresi ngilu dan aku pun tertawa terbahak – bahak, menggolokmu.

Lalu memori itu melompat pesat pada hari yang berbeda. Siang itu aku sedang kesal. Kau telat menjemputku sesaat setelah kepulanganku dari perkemaahan. Aku yang bak orang dungu berdiri di tepi jalan dengan muka berdebu, semangat layu dan peralatan tidak masuk akal di punggungku. Kau yang melambatkan motormu menghampiriku nampak takut – takut saat membaca raut mukaku. Jelas aku kesal. Setelah dijemur panas – panasan hanya untuk mendengarkan mars himpunan yang bahkan panitianya saja tidak hapal tentang lagunya, tidak dapat mentolerir keterlambatan. Kamu dan sejuta alasanmu. Aku dengan egoku hanya diam bungkam lalu menaiki boncengan motormu dengan asal. Kamu yang sudah hapal dengan tabiatku lalu menggodaku dengan banyolan yang entah saat itu aku tak tahu dimana letak lucunya. Aku memelukmu dari belakang. Erat. Untuk memberitahumu aku sedang kesal stadium akhir. Tidak mau diganggu. Tapi bukan kamu namanya jika menyerah menghadapi rajukanku. Tahu – tahu kau berhentikan laju motormu di gerobak es doger yang pada saat itu dapat dibeli dengan 3ribu perak. Tanpa turun dari motor kau memesan 2 gelas pada abang penjaja es tersebut, aku, yang tanpa malu tetap memelukmu dari belakang membuat abang penjualnya paham mengapa kau tak turun dari motormu. Sore itu berlalu dengan manis. Semanis es doger gratis darimu.

Kita berdua memang penggemar kelas berat untuk masalah es. Semangkuk es paling berkesan untukku saat kita menikmatinya berdua di pinggir jalan, di kawasan masjid agung Al Akbar, saat kau bertandang kekotaku. Saat itu kau mengantarku pulang karena asmaku sedang kambuh dan kamu dengar rewelnya berkeras mengantarku pulang dengan motor matic kesayanganmu yang kau panggil mesra, miong. Aku yang tidak suka dianggap sedang sakit bersikeras mengajakmu jalan – jalan mengelilingi kota sebelum bertandang kerumahku. Akhirnya kita berakhir ditepian trotoar dengan dua mangkuk es dan sebongkah tawa. Aku yang tak peduli sedang sakit melahap semangkuk es oyen itu seperti pengamen jalanan diberi nasi bungkus gratisan. Kamu memandangiku dengan heran lalu tertawa dan akhirnya memilih bercakap – cakap dengan bapak penjualnya. Aku yang masih kalap karena kepanasan akhirnya memutuskan memesan semangkuk lagi diiringi dengan lirikan sebal darimu. Aku tak peduli, dan bapak pedagangnya tertawa memperhatikan tingkah kita berdua. Betapa terkejutnya saat kau membayar 3 mangkuk es tersebut dengan selembar uang 10ribuan namun masih mendapat uang kembalian. Kamu yang tipe orang tidak tegaan akhirnya memilih tak menerima uang kembalian tersebut, bapaknya tersenyum syukur, aku pun ikut tersenyum simpul.

Ingatanku mendadak melaju mundur jauh kebelakang. Saat itu semester 3. Kita berdua merayakan aniversary untuk yang kedua, dua bulan maksudnya. Entah mengapa kau selalu ingat tanggal jadian kita dan aku dengan slebornya selalu lupa. Aku tak terlalu suka merayakannya setiap bulan, karena menurutku cinta bukan tagihan bulanan, jadi tak perlu dihitung apalagi dirayakan. Namun kamu selalu sukses membuatku tersenyum lebar saat mengumumkan lewat pesan singkat mengingatkan aku kalau hari itu kita genap 60 hari bersama. Aku menggodamu dengan guyonan mengapa kita tidak menyelenggarakan pengajian saja nanti malam dan kamu manyun lalu tidak membalas pesanku. Selepas kuliah yang maha membosankan sore itu, kamu merajuk minta ditemani ke café ice cream yang aku tahu dengan uang saku satu minggu pun aku tidak sanggup membelinya. Kamu terus merajuk dan aku harap - harap cemas. Akhirnya aku mengiyakan dengan pasrah. Saat itu aku cemas akan dua hal ; uang didompetku tak akan cukup dan betapa memalukannya aku dandanan hari itu cenderung asal comot  alias biasa saja. Sedangkan kamu hari itu berdandan sangat necis, sepatu mahal yang tidak biasa kau gunakan sehari – hari serta kemeja bermerk kesayanganmu, kau pakai hari itu. Aku melangkah memasuki café itu dengan perasaan campur aduk seperti hewan kurban hendak memasuki rumah penjagalan. Kau genggam tanganku dengan santai lalu duduk dan memesan dua mangkuk es krim yang harga permangkuknya cukup untuk membeli satu kardus mi instan. Lalu sore itu berlalu dengan gemulai dengan kecupan ringan di pipiku dan rona merah di pipimu.

Ingatan adalah kotak berdebu yang menyimpan sejuta asa dan luka. Bahkan saat tubuhku sebagai pesawatnya telah karam, ingatanku bak kotak hitam yang masih berdenyut, pelan, terkubur didasar samudera. Hubungan kita telah berakhir entah untuk berapa tahun lamanya, aku tak peduli dan kita dipertemukan lagi di depan segelas iced coffee blend kesukaanku, semeja namun tak lagi sepaham. Malam itu kawan – kawan lama kita mengajak reunian untuk sekedar bertukar tawa lepas dan berbagi kabar. Hatiku terbelah, separuh hatiku menyerukan untuk tidak hadir dan berlalu dengan bebas, namun separuhnya lagi berteriak keras betapa aku rindu kawan – kawan lamaku, dan disinilah aku berakhir, kita duduk bersebrangan, tak saling berucap seakan kita orang asing, dan aku lagi – lagi bertingkah tak peduli dan memilih tertawa lepas sebagai tamengnya. Kunyalakan entah batang rokok keberapa saat itu sembari tertawa mendengar gurauan sahabat karibku, dan kamu masih saja duduk diam, tak terbaca. Tawaku boleh saja mengelabui mereka namun aku gentar juga melihat kebisuan darimu yang malam itu nampak vulgar dimataku. Hatiku membisu namun kepalaku tak dapat fokus pada permainan kartu saat itu dan dengan pasrahnya pipi gembulku ini dicoret cemong dengan lipstik sebagai hukumannya. Aku terduduk kaku namun asaku tak lagi ada disitu. Malam itu berlalu sedingin memori kita yang kini sudah keras membeku di ujung kutub utara, menunggu untuk entah jutaan tahun lamanya mencair karena global warming. Sungguh ku tak peduli lagi.