Ada begitu banyak gejala yang tampak begitu vulgar untuk
diabaikan begitu saja, dan semakin ku telisik fakta – fakta itu menjadi begitu
menyeramkan. .
Aku tidak masalah berdiam diri di kamar kosku yang mungil
lagi sempit, dan kebanyakan ku habiskan dalam gelap. Tanpa lampu menyala. Tanpa
berbicara pada siapa pun. Aku hanya merasa begitu aman dan nyaman. Mendadak
menghindari kontak sosial dengan sesama penghuni kosan nampak begitu
menentramkan. Terbiasa untuk mengendap – endap, sesepi mungkin. Ketidakberadaanku
sudah menjadi hal maklum. Aku malas berdrama. Lelah mendengar ocehan mereka,
hidup mereka dan keluh kesah mereka. Meminimalisir seminimal mungkin untuk tak
bercerita banyak tentangku. Ketidaktahuan mereka adalah misi hidupku. Terkadang
ingin tertawa terbahak – bahak bila ada saja lelaki ceroboh yang mengaku –
ngaku mengenalku dengan sangat baik. Sayang sekali, itu pengetahuan itu bahkan
tidak seluruhnya. Terlalu banyak ruang rahasia yang ku peluk dan ku jaga baik –
baik. Aku tak sebaik yang kau kira. Bahkan rumah tak lagi jadi senyaman “rumah”
yang seharusnya.
Jika mati itu mudah, aku tahu dengan pasti itu tidak. Dan
pikiran kalut tentang kematian itu menghampiriku hampir tiap hari. Tentang
gagasan bodoh yang sejak lama tumbuh dan berkembang dalam kepalaku hingga paranoid
yang berlebihan tentang jadi pesakit tak lama lagi pun tak jarang ikut ambil
bagian. Dan melawan itu semua sungguh melelahkan. Diriku perlahan terbagi
menjadi dua. Separuh selalu berupaya untuk tetap bertahan dan sisanya ingin
cepat mati saja. Pelarianku hanyalah rasa sakit yang di sengaja. Satuan rasa
sakitnya tanpa ku sadari mampu jadi tameng tipisku untuk menyerah. Rasa sakit
yang jadi penanda aku masih hidup betapa pun hari bisa jadi begitu memuakan.
Rasa sakit yang sengaja oleh diriku, tentu hanya untukku.
Aku kehilangan minat pada kehidupan. Melalaikan studiku,
menelantarkan hatiku yang sudah dirudung sepi sejak lama, tak lagi memandang
cinta itu menyembuhkan karena terlalu muak pada pedihnya penghianatan dan
mengeneralisasi semua laki – laki begitu saja, menutup telinga pada orang
terkasih yang tanpa ia sadari sudah menelantarkan diriku tanpa sengaja, tentu
saja bila mereka tidak “buta” mereka akan tahu ada yang tidak beres dengan
diriku. Aku sudah terbiasa diabaikan, pun mengabaikan. Hanya diriku seorang
yang ku miliki, yang dapat ku percayai. Karena mereka sama saja, sewaktu –
waktu akan melupakan diriku bila tidak dibutuhkan. Tak lagi begitu berharga
untuk sekedar sapaan palsu.
Pada dasarnya aku adalah pribadi yang begitu menyenangi
semua – mua tentang tuhan dan wahyunya. Mungkin bukan yang paling religius.
Tapi aku yakini jika bunuh diri hanyalah akan berakhir menjadi sehina – hinanya
abdi sang empuNYA hidup. Aku hanya muak pada ciptaanNYA. Yang beribadah tapi
hanya demi citra, yang lebih suka bermain peran menjadi tuhan tandingan dengan
mengkafir – kafirkan sesamanya, yang menjudge sesuka hatinya dan mempermainkan
dahlil untuk kepentingan egoisnya semata, dan yang lebih lucunya lagi suka
menghinaku bila tak tepat waktu menghadap sang Khalikku tapi membiarkan imamnya
ditertawakan karena tidak becus. Semuanya seakan asyik menghakimiku, tanpa
memandang diri mereka sendiri terlebih dahulu. Yang penting aku nampak buruk
dimata mereka saja, karena akulah kuman di sebrang lautan, mereka sibuk
membutakan hati dan mata tentang gajah yang ada di depan mata dan diam – diam
menyembunyikannya. Biar saja hanya Tuhan yang berhak menghakimiku. Mungkin
bukan abdinya yang paling setia, paling tidak aku tak menyembunyikan motif –
motif kefanaan kala bercerita dan bersimpuh pada-Nya. Aku mungkin lalai, tapi
aku selalu percaya Ia selalu ada.
Kehampaan ini perlahan melemahkanku. Melenyapkan semangatku.
Aku bukanlah lagi pribadi periang seperti dulu. Hanya tersisa hampa dan awan
gelap di sekitarku, yang aku sadari dengan baik perlahan – lahan membuat jengah
kawanku dan akhirnya menghilang satu – persatu. Itu sepenuhnya bukan salah
mereka, tentu saja hanya semata karena diriku yang terlalu aneh ini. lidahku
yang keji dan setajam belati tentu saja membuat siapa saja tak nyaman. Aku
memang tidak jago berpura – pura baik. Walaupun tak di pungkiri kemampuan
beraktingku juga tidak mengecawakan.
Terbiasa hanya mengandalkan diriku sendiri. Aku benci
menggantungkan hidupku pada orang yang bisa sewaktu – waktu meninggalkanku
begitu saja. Membuat para lelaki di lingkaranku tak nyaman karena merasa tidak
begitu di butuhkan olehku. Karena menaruh harap pada apa yang selalu saja dapat
mengecawakan di saat aku begitu membutuhkan sudah tak lagi asing. Yang mereka
pedulikan hanya kepemilikan, rasa bangga berlebihan yang naif dan pemenuh
nafsu. Munafik. Mereka dengan lihainya bermodalkan kalimat – kalimat manis
menyalah gunakan cinta demi hal yang ujung – ujungnya tentang perihal ranjang
juga. Setua ini belum pernah pun ku temui yang menolak atas itu pun aku tak
terlalu bodoh membiarkan mereka menjamah apa yang ku janjikan pada imamku
kelak. Aku mungkin sedikit jalang tapi aku tidak tolol. Mereka bisa saja
lenggang kangkung, pergi tanpa berbekas, tapi aku tak akan menggadaikan permata
satu – satunya untuk yang hanya sementara singgah dan belum tentu jadi
pengantar jalanku menuju Jannah. Aku tidak membiarkan diriku mengemis untuk apa
yang harusnya mengasihi tanpa riba. Cinta tak melulu se”murah” itu.
Jam biologisku carut marut. Aku terbiasa terjaga hingga pagi
menjelang dan esoknya tetap bangun pagi seakan tidak terjadi apa – apa. Aku
betah tidak makan seharian dan hanya mengandalkan bergelas – gelas air putih
saja dan anehnya berat badanku tetap saja naik dan naik walaupun ku habiskan
hari dengan hampir tidak memakan apapun. Aku hanya kehilangan selera makanku
begitu saja. Tak ada lagi yang begitu menggugah selera jika yang ku dapati aku
hanya berakhir di rumah makan yang ramai dan aku hanya duduk menatap nasiku
seorang diri. Makan sendirian begitu menjemukan.
Delusi berlebihan tentang aku yang tidak begitu berharga,
tentang idea aku yang hanyalah tumpukan kekecawaan, tentang kesedihan yang merudung
tak berkesudah, tentang aku yang hanyalah bukti nyata “sampah”, tentang amarah
yang ambigu dan tentu arah, tentang kebencian pada diriku sendiri, betapa tidak
menariknya, betapa bodohnya dan betapa buruk rupanya. Aku mungkin sudah terlalu
“rusak” untuk di selamatkan. Toh, aku membiarkan diriku sendiri semengenaskan itu.
Bermuram durja seakan sembari takut – takut berharap hari cepatlah terhenti. Aku
muak pada diriku sendiri.
Seorang kawan (yang dulu pernah cukup dekat dan cukup baik
padaku, namun tidak lagi) pernah mengatakan gangguan depresi tidak semudah itu
dapat terjadi. Namun jika ini semua bukan depresi lalu aku harus menyebutnya
apa? Sementara ia sibuk mengutarakan pendapat kontranya, ku dapati diriku
memandangi bunga – bunga yang bergerak pelan, seakan hidup, pada dinding kamar
yang terdapat pada pola lantai keramik yang ku tahu betul seharusnya hanya diam
saja. sementara itu, seringkali pula menangis berurai air mata tersedu – ssedu
begitu hebohnya tanpa dapat ku temukan satu pun alasan pasti, dan tak jarang
menemukan diriku terdiam seharian penuh hanya menatap asbesku yang penuh noda
bercak – bercak hujan dengan ilusi yang aku tahu pasti itu surreal namun
terlihat sangat nyata. Lalu ku dapati diriku tertawa terlalu nyaring pada jokes
temanku yang sebetulnya biasa saja. It’s freak the hell out of me.
Semoga saja masih tersisa sedikit kewarasan pada diriku yang
mbuh ini . . .
( PS : catatan ini sengaja ditinggalkan apabila ada kejadian
yang tidak diharapkan di kemudian hari pun juga hanya sekedar catatan absurd
masa lalu penulis untuk dijadikan pengingat agar tidak kembali jadi bodoh lagi.
)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar