Kadang aku masih suka berandai - andai. Andai saja sekarang
aku merajuk meminta semangkuk es padamu, pasti langsung kau turuti walaupun
kutahu kita sama sama tak punya uang lebih yang tersisa didalam dompet. Andai
saja kuceritakan semua penat yang meruntuki di kepalaku ini, kamu pasti dengan konsentrasi
penuh mendengarnya tanpa kupaksa. Seakan semua bualanku ini akan keluar disoal
ujian esok hari. Kamu dengan wajah sayu tapi pemerhati kelas kakap dan aku
dengan pipi bulat dan sejuta onggok kebodohan tentang andai. Tentang kita.
Ingatanku melompat pada waktu itu. Kala itu rintik hujan
membuatmu geram. Ya, kau tak suka hujan dan justru aku mencintai rintiknya
dengan sangat. Kau berhentikan motor matic kesayanganmu di warung lesehan favorit
kita berdua dimana tak jarang ibu pemiliknya menggoda kita untuk segera
mencetak undangan. Hari itu aku sedang kelaparan dan kamu sedang malas makan.
Aku yang tukang merengek memaksamu untuk tetap makan lalu kau ajukan syarat;
kita habiskan sepiring berdua. Aku yang selalu menyukai tantangan akhirnya
menyanggupinya tanpa basa – basi. Segera ku pesan nasi dengan lauk jamur tepung
serta sambel terong kesukaanmu. Saat itu warung sedang sepi padahal biasanya
tak jarang kita harus menunggu setengah jam hanya untuk mendapat tempat untuk
duduk. Kau habiskan terong dengan lahap dan aku malah asyik meraih es batu
dalam gelas es jeruk nipisku. Kaupun beralih memperhatikanku, lalu dengan sadis
merebut es batu yang nangkring di sedotanku dengan tangan saat mulutku tanpa
malu sudah mengap dengan indahnya hendak melahap dan mengunyah es batu itu
dengan keras. Ya, aku suka menggilas es batu dengan gigiku. Tak jarang kau
hanya diam dan mengerutkan wajah dengan ekspresi ngilu dan aku pun tertawa
terbahak – bahak, menggolokmu.
Lalu memori itu melompat pesat pada hari yang berbeda. Siang
itu aku sedang kesal. Kau telat menjemputku sesaat setelah kepulanganku dari
perkemaahan. Aku yang bak orang dungu berdiri di tepi jalan dengan muka
berdebu, semangat layu dan peralatan tidak masuk akal di punggungku. Kau yang
melambatkan motormu menghampiriku nampak takut – takut saat membaca raut
mukaku. Jelas aku kesal. Setelah dijemur panas – panasan hanya untuk
mendengarkan mars himpunan yang bahkan panitianya saja tidak hapal tentang
lagunya, tidak dapat mentolerir keterlambatan. Kamu dan sejuta alasanmu. Aku
dengan egoku hanya diam bungkam lalu menaiki boncengan motormu dengan asal.
Kamu yang sudah hapal dengan tabiatku lalu menggodaku dengan banyolan yang
entah saat itu aku tak tahu dimana letak lucunya. Aku memelukmu dari belakang.
Erat. Untuk memberitahumu aku sedang kesal stadium akhir. Tidak mau diganggu.
Tapi bukan kamu namanya jika menyerah menghadapi rajukanku. Tahu – tahu kau
berhentikan laju motormu di gerobak es doger yang pada saat itu dapat dibeli dengan
3ribu perak. Tanpa turun dari motor kau memesan 2 gelas pada abang penjaja es
tersebut, aku, yang tanpa malu tetap memelukmu dari belakang membuat abang
penjualnya paham mengapa kau tak turun dari motormu. Sore itu berlalu dengan
manis. Semanis es doger gratis darimu.
Kita berdua memang penggemar kelas berat untuk masalah es.
Semangkuk es paling berkesan untukku saat kita menikmatinya berdua di pinggir
jalan, di kawasan masjid agung Al Akbar, saat kau bertandang kekotaku. Saat itu
kau mengantarku pulang karena asmaku sedang kambuh dan kamu dengar rewelnya
berkeras mengantarku pulang dengan motor matic kesayanganmu yang kau panggil
mesra, miong. Aku yang tidak suka dianggap sedang sakit bersikeras mengajakmu
jalan – jalan mengelilingi kota sebelum bertandang kerumahku. Akhirnya kita
berakhir ditepian trotoar dengan dua mangkuk es dan sebongkah tawa. Aku yang
tak peduli sedang sakit melahap semangkuk es oyen itu seperti pengamen jalanan
diberi nasi bungkus gratisan. Kamu memandangiku dengan heran lalu tertawa dan
akhirnya memilih bercakap – cakap dengan bapak penjualnya. Aku yang masih kalap
karena kepanasan akhirnya memutuskan memesan semangkuk lagi diiringi dengan
lirikan sebal darimu. Aku tak peduli, dan bapak pedagangnya tertawa
memperhatikan tingkah kita berdua. Betapa terkejutnya saat kau membayar 3
mangkuk es tersebut dengan selembar uang 10ribuan namun masih mendapat uang
kembalian. Kamu yang tipe orang tidak tegaan akhirnya memilih tak menerima uang
kembalian tersebut, bapaknya tersenyum syukur, aku pun ikut tersenyum simpul.
Ingatanku mendadak melaju mundur jauh kebelakang. Saat itu
semester 3. Kita berdua merayakan aniversary untuk yang kedua, dua bulan
maksudnya. Entah mengapa kau selalu ingat tanggal jadian kita dan aku dengan
slebornya selalu lupa. Aku tak terlalu suka merayakannya setiap bulan, karena
menurutku cinta bukan tagihan bulanan, jadi tak perlu dihitung apalagi
dirayakan. Namun kamu selalu sukses membuatku tersenyum lebar saat mengumumkan
lewat pesan singkat mengingatkan aku kalau hari itu kita genap 60 hari bersama.
Aku menggodamu dengan guyonan mengapa kita tidak menyelenggarakan pengajian saja
nanti malam dan kamu manyun lalu tidak membalas pesanku. Selepas kuliah yang
maha membosankan sore itu, kamu merajuk minta ditemani ke café ice cream yang
aku tahu dengan uang saku satu minggu pun aku tidak sanggup membelinya. Kamu
terus merajuk dan aku harap - harap cemas. Akhirnya aku mengiyakan dengan
pasrah. Saat itu aku cemas akan dua hal ; uang didompetku tak akan cukup dan betapa
memalukannya aku dandanan hari itu cenderung asal comot alias biasa saja. Sedangkan kamu hari itu
berdandan sangat necis, sepatu mahal yang tidak biasa kau gunakan sehari – hari
serta kemeja bermerk kesayanganmu, kau pakai hari itu. Aku melangkah memasuki
café itu dengan perasaan campur aduk seperti hewan kurban hendak memasuki rumah
penjagalan. Kau genggam tanganku dengan santai lalu duduk dan memesan dua
mangkuk es krim yang harga permangkuknya cukup untuk membeli satu kardus mi
instan. Lalu sore itu berlalu dengan gemulai dengan kecupan ringan di pipiku
dan rona merah di pipimu.
Ingatan adalah kotak berdebu yang menyimpan sejuta asa dan
luka. Bahkan saat tubuhku sebagai pesawatnya telah karam, ingatanku bak kotak hitam
yang masih berdenyut, pelan, terkubur didasar samudera. Hubungan kita telah
berakhir entah untuk berapa tahun lamanya, aku tak peduli dan kita dipertemukan
lagi di depan segelas iced coffee blend kesukaanku, semeja namun tak lagi
sepaham. Malam itu kawan – kawan lama kita mengajak reunian untuk sekedar
bertukar tawa lepas dan berbagi kabar. Hatiku terbelah, separuh hatiku
menyerukan untuk tidak hadir dan berlalu dengan bebas, namun separuhnya lagi
berteriak keras betapa aku rindu kawan – kawan lamaku, dan disinilah aku
berakhir, kita duduk bersebrangan, tak saling berucap seakan kita orang asing,
dan aku lagi – lagi bertingkah tak peduli dan memilih tertawa lepas sebagai
tamengnya. Kunyalakan entah batang rokok keberapa saat itu sembari tertawa
mendengar gurauan sahabat karibku, dan kamu masih saja duduk diam, tak terbaca.
Tawaku boleh saja mengelabui mereka namun aku gentar juga melihat kebisuan darimu
yang malam itu nampak vulgar dimataku. Hatiku membisu namun kepalaku tak dapat
fokus pada permainan kartu saat itu dan dengan pasrahnya pipi gembulku ini
dicoret cemong dengan lipstik sebagai hukumannya. Aku terduduk kaku namun asaku
tak lagi ada disitu. Malam itu berlalu sedingin memori kita yang kini sudah keras
membeku di ujung kutub utara, menunggu untuk entah jutaan tahun lamanya mencair
karena global warming. Sungguh ku tak peduli lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar