Hanya itu yang saat ini bisa saya berikan.
Apakah ini sudah cukup?
Mungkin menurutmu tidak...
Tapi saat ini saja saya hanya se sederhana ini.
Mungkin jika suatu saat nanti saya lebih mampu membantumu,
saya akan membantumu, sekuat tenaga saya, sekuat apa yang seharusnya
bisa saya lakukan, sebisa apa yang seharusnya saya akan perbuat.....
Meskipun umur ini sudah mampu memenuhi kebutuhan manusia satu persatu.
Meskipun kekuatan yang tersimpan di tubuh ini perlahan menyisakan
sisa-sisa ketidakberdayaan.
Meskipun waktu yang menggantung indah di dinding dunia mulai
tergerus garis takdir.
Satu obsesi yang akankah terus mengikuti bayangan masa depan?
Adalah bersamamu....
Malam ini kalau saja kamu menoleh ke langit.
Mengintip jalanan yang mendampingimu pulang.
Mengamati tiap-tiap langkah orang-orang di sekitarmu.
Mendengar tiupan angin saat kamu rebahkan dirimu.
Jangan salahkan mereka jika suatu saat mereka menuduhmu.
Jangan curigai mereka jika suatu saat mereka membiusmu.
Jangan pertanyakan mereka jika suatu saat mereka menikammu.
Yakinkan pada dirimu kalau itu adalah pujian mereka terhadapmu.
Yakinkan pada dirimu kalau itu adalah apresiasi menakjubkan untukmu.
Yakinkan pada dirimu kalau itu adalah penghargaan yang layak untukmu.
Yakinkan dirimu, itu memang jalanmu menuju kemenangan.
Yang suatu saat kamu akan menikmatinya, memberikannya tahta, dan menari
bersamanya...
Itulah yang tidak kusukai, yaitu kesombongan.
Jika suatu saat kamu menikmati kemenangan itu, nikmatilah bersama langit,
nikmatilah bersama jalanan yang menemanimu pulang,
nikmatilah bersama orang-orang yang melihatmu,
nikmatilah bersama tiupan angin saat angin merangkulmu...
Jika Dia memang mengijinkan...
Saya akan selalu bersamamu...
Saya akan selalu di dekatmu...
Saya akan selalu menemanimu...
Dan saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu...
01.48, April 4, 2010
Selasa, 14 Desember 2010
kita bertemu tanpa sengaja
kita bertemu tanpa sengaja. tanpa suratan takdir. tanpa campur tangan manusia. kadang terasa begitu janggal,janggal yang memukau menyilaukan mata batin kita. tak kah kau rasakan itu? Terlalu lama berdiam diri membutakan mata hatimu. kau menutup semua jalan menuju engkau yang terdalam. engkau yang terkasih. Garis tipis itu tak kasat mata,tapi tetap mempertahankan untuk menyatu,dalam lelap bawah sadar. degup jantungmu,irama nafasmu,derit hatimu begitu memekakan mataku yang pudar. gerak gemulaimu,tapak kakimu,jeritan hatimu,indahkanlah sesekali. terlalu pilu tuk di dengar. sadarlah dari ketiadaanmu,saiangku. Sebelum nyawaku terengut dari peluk hangat nan manismu. dentuman itu kian menghentak merebak. raihlah tanganku erat,larilah derap – derap. aku tak mau terlambat. aku tak mau lagi menangguhkan pedih di pundak tiada bertulang ini. aku rapuh dan semurni bongkah yang kau hirup. aku tak berani meraihmu. aku takut membuatmu hancur berkeping keping seperti label yang tertera di dadamu. dan aku terperangkap dalam kepalaku. dalam asaku. dalam memoarmu. amatan dari kejauhan hanya akan membuat kita terbelit terhujam terhunus terjungkal terperam. air matamu terlalu berharga tuk mahluk sepertiku. Reguklah aku. Atau akan kehilangan lagi. Tutuplah kata katamu. Itu tiada berguna. itu hanya sela. heiy sadarlah dari malam malam temarammu. dekaplah aku. hatiku diriku milikmu sepenuhnya. Atau kau menyia nyiakannya dalam penuh sesaknya dunia fana ini. membiarkan aku mati lemas di atas petimu. peti murammu.
- Dearest - 23”29 - 8710
prosa indah kehampaan
aku tidak butuh bekas lukanya, namun aku butuh rasa sakitnya, yang menyadarkan aku untuk tetap hidup dan bernafas.
- Cynthia –
Mungkin kau tak dapat mengikuti kemanakah arah pikiranku,bahkan aku tak bisa mengikutinya dengan benar. Aku mulai tersesat lagi, dan aku kehilangan lentera dalam temaram malam – malamku yang muram. Ini sesalku, biar ku tanggung dan ku pikul kemanapun aku melangkah. Jangan beratkan langkahmu hanya karena senyum luka yang ku sungging di antara matahari yang mulai meredup. Jangan.
Terkadang yang tersempurna pun tak selamanya dapat termiliki sepenuhnya. Aku biarkan angin malam itu jadi penanda. Penanda ku pernah menghirup udara yang kau hirup. Penada bahwa elegi pernah bercampur getir,kala itu.
Betapa hidup begitu mengelikan, tak apalah takdir mempermainkanku. Aku tak mau mengeluh, aku tak mau meratap. Semua hal yang pernah kita rajut bersama, lebih memukau dari tumpukan permata yang tak kekal. Aku tak mau menukarnya dengan apa pun. Aku simpan baik – baik dalam untaian memoarku. Tak kan ku biarkan ia melapuk. Tak akan.
Andai kala itu aku bisa menghadiahi dirimu satu kecupan lagi, satu kecupan sebagai pengingat, kau pernah melintas dalam alam bawah sadarku, pernah memonopoli ingatanku, dan merajai hari indahku. Aku terlalu letih untuk berujar, aku terlalu pengecut dan memilih bersembunyi dalam balik selimut hangatku. Aku harap kau tak merasakan apa yang aku eja detik ini. Biarkan jutaan bulir air mataku membayar lunas semua hutang nyawaku.
Aroma wangi semerbak malam itu, rintik gerimis yang menyirami gersangnya hidupku kala itu, dan barisan kursi bisu yamg tersenyum melihat ku tersipu waktu itu. Dan masa bergerak gemulai ikuti alunan nada indah harapan. Mimpi mimpi. Betapa percikan bunga api dalam hatiku berujar kelu. Aku tak ingin lepaskan genggaman jari jari lembutmu. Aku harap melekat selamanya. Betapa naif mebutakan.
Pernah terlintas, seakan kau baca jilid pikiranku. Semuanya nampak begitu terkordinasi, dan inginku bersorak kegirangan. Tak ada satu pun orang di dunia ini yang mampu mengerti dan memetakan inginku dengan akurat,dan gelar itu masih milikmu.
Jemu seakan tak pernah benar benar hidup. Dunia porak porandaku pun menguap perlahan. Tak pernah aku sehidup kala itu. Jangan salahkan aku. Aku tak mau memujamu. Aku hanya mengatakan fakta buram dalam rapuhnya ingatanku ini. Aku beruntung menemukanmu dalam serpihan hari yang coba ku susun kepingan demi keping, dan darahku sebagai perekatnya.
Aku biarkan denyut dalam kepalaku melonjak lonjak gembira, aku biarkan mata nyalangku ini terbuka lebar. Perihnya tak pernah sebanding saat kau lepas gengamanku. Aku takut. Bukan, aku tak takut kehilangan denyut jantungku. Bukan, aku tak takut kehilangan isakan nafas beratku. Aku takut tak akan bertemu dengan senyum ganjilmu lagi. Aku takut tak akan bisa menertawakan dunia ini bersamamu lagi. Aku takut kau akan menyerah dan mengakhiri hidupmu murammu. Aku benar benar di telan ketakutan yang mendalam.
Waktu bergulir rima demi rima. Kasih itu tetap setia tertunduk dalam diam. Dan aku biarkan ia membeku abadi di sudut hatiku. Atas nama rapuhmu. Atas cinta kasih bisu yang berpendar redup dari sorot mata lelahmu.
Bukitan terima kasih atas semua yang kau perankan tak kan sanggup membayar semua letupan warna warni yang kau buat dari lembar tangan dinginmu. Tak akan pernah cukup. Betapa tak ternilainya sunggingan senyum di pojok bibirmu itu.
Kini jalanan takdir memisahkanku dari bayangmu. Aku takkan selamanya memberati langkah mu yang mulai terasa melelahlan. Biarkan aku berpijak pada dunia masam penuh duri yang ada di hadapku, seorang diri. Kau akan melihatku melepas nafasku yang mulai menghimpit bila aku terlalu letih dan tak dapat menaklukannya. Jangan kau sesali, kelak aku akan menemui lagi di tepian janji sang Khalik yang tergambar jelas di langit langit. Yakinilah itu kuat kuat.
Berjanjilah, kau takkan pernah menyerah pada skenario panjang yang membentang di pelupuk jalan terjalmu. Berjanjilah untuk merajut mimpi mimpi mu. Berjanjilah untuk tetap tulus dan apa adanya
Aku menyesal tak dapat memetakan hari harimu lebih mendalam. Maafkan aku atas semua kekejian yang menaungiku. Maafkan atas laku jiwaku yang tak lagi utuh. Mohon maafkan aku. .
Aku akan selalu merindukan sapaan hangat dari hatimu yang terdalam. .
Langganan:
Postingan (Atom)