Jumat, 07 Juli 2017

Hujan Hujam




Surabaya selalu saja mengingatkanku padanya, pada apa yang ku sayangkan pernah terjadi dan pada apa yang kusesalkan tak pernah terjadi. Kamu begitu nyata pun jua begitu fana untukku. Dan selalu saja hatiku tak bosan berkutat tentang kamu, satu nama yang susah payah ku enyahkan dari benakku yang doyan melamun.

Siang ini di kotaku, Malang, mendung gelap menggelayuti tepian awannya. Kota riuh nan dingin ini mendadak sepi dan kehilangan pesonanya. Aku bebas pergi kemana saja namun aku kehilangan ingin untuk beranjak, aku takut sepi. Sepi yang selalu saja merajuk pada kesendirianku.  

Rumah kost yang ku tinggali ini sungguh sunyi, tentu saja karena ini tengah hari dan para penghuni yang baik padaku tengah sibuk mencari uang. Hanya tinggal aku seorang diri dan ketidakmampuanku. Aku senang saja dengan suasananya yang sunyi walaupun tawa gaduh mereka pun aku tak mengapa. Sudah barang tentu kami para gadis sibuk bergosip jika berkumpul atau sekedar bercuap – cuap membagi secuil hidup mereka, hanya aku saja yang sibuk mengomentari tanpa pernah ikut berbagi cerita. Apalagi cerita mengenai mu. Tidak, kamu sakit hati termanis milikku sendiri. Biar tetap jadi milikku seorang.

Tiba – tiba saja rintik hujan meruntuki atap kamarku. Ah sial. Seharusnya tadi aku berangkat saja, kini perutku yang kosong hanya sanggup berdendang ria namun tiada terisi. Aku hanya bisa menatap pada plafon yang sebentar lagi akan menetes perlahan. Plafon bocor pun sanggup menghiburku kala itu. Rintiknya yang berirama seakan mengalunkan melodi riang dari hujan yang selalu sedih. Ah hujan selalu saja mencungkil pahit kenangan yang terajut di dalam aroma tanah yang berbaur mesra dan nestapa.

Entah mengapa hujan selalu menyapa setiap pertemuan ganjil yang kita lalui. Dalam rintiknya memoar itu terjalin rapi dan membuatku susah lupa. Tentu saja susah karena aku terlalu suka pada hujan. Kala itu hujan rintik – rintik merendengi kita yang melaju di atas motor terburu – buru. Waktu telah menunjukan pukul 10 malam lebih dan setengah perjalanan menuju rumahku pun belum terlampaui. Aku terlalu cemas hingga tidak memikirkan perasaanmu, uluran jaketmu pun ku tolak halus karena aku terlalu takut akan berakhir terkunci di luar rumah dan didiamkan ibuku selama seminggu. Bayangan itu sungguh menakutkan. Meskipun kecemasanku memuncak entah bagaimana terselip harap rintik hujan itu melambatkan perjalanan pulang kita. Aku masih ingin bersamamu lebih lama lagi. 

Di lain waktu, hujan tak selalu sedih. Hujan rintik pun tak sanggup meruntuhkan senyumku di masa yang berbeda. Untuk pertama kalinya aku merasa begitu bahagia. Kamu begitu mendadak mengajakku pergi, pergi jauh dari semua kerumitan sehari – hari yang begitu membelenggu. Hanya kamu dan aku. Dan beberapa jam yang ku pinjam dari hidupmu. Yang membekas di benakku kala itu hanya rintik yang manis dan a candlelit dinner with inamorta. Dan tentunya mata lucu itu. Rintiknya seakan melambai riang ikut bersorak pada hati yang diam – diam ingin berteriak senang. 

Tentu saja hujan pun menyisakan tanda tanya. Tentang semua kekalutan yang tiada berpunya dan tanda tanya yang tiada terjawab. Seberapa pun lamanya guyuran itu menghujam bumi, ia tidak bergeming dan hanya terdiam. Diam yang menyakitkan. Aku tak pernah tahu kepada siapa hati itu tertuju seperti hujan yang tak tahu hendak menghapus pilu punya siapa. Yang butir – butirannya tahu ia hanya jatuh dan jatuh. Berdebam tiada bersua. Seperti hujan di Malang dan terik di Surabaya. 
Hujan jangan bosan ya? Temani aku hingga pelangi harap menjelang atau genangan lumpur kenangan yang semakin menyesatkan. Aku selalu saja suka hujan, dan kamu. Kamu yang terguyur hujan atau hujan yang membasuh bayangmu. Aku rindu hujan – hujan. Terlebih menatapnya rintiknya kala bersamamu, atau terpisah jalan tanpamu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar