I used to write you
You loved the way I
watch the sun
Through my finger
We spent sometimes to
the day we met
Can I fall into your constellation ?”
Pada satu pria yang senang saja
membaca tulisanku yang entah kemana tujuannya, yang mengomentarinya hingga
kehabisan kata pada larik dan kalimat yang terangkai kebanyakan tentangnya
dalam sudut pandangku, dalam imajinasi liarku, dalam rindu diam diam yang aku
tuangkan begitu saja pada jemari yang menari meliuk riang di atas keyboard pada
malam malam sepi.
Pada
pertemuan ajaib yang seringkali menghanyutkan hingga lupa waktu, entah mengapa
selalu saja salah kostum dan entah mengapa selalu saja kukenakan sepatu aus
yang kau amati dengan teliti, tentang ramalan bintang dirimu yang bertebaran
dimana mana, yang semakin menjebak dengan harapan melambung tinggi pada laman
internet yang entah benar atau tidak, hanya saja mereka tulis leo dan
sagitarius itu cocok dan aku mengamini begitu saja. selalu saja aku yang naif
ini penuh dengan kesalah pahaman karena terlalu sibuk berasumsi dengan hati
sendiri.
“ drove in the wind
Opened the window
Waved to nothing
Just to keep us awake
We drove under the
heavy rain
Soaking wet yes
We laughed at it yet
And tell me more of your constellation arm”
Pada
satu mimpi yang kini meruap tinggal halusinasi.
Birunya lautan dengan deburan ombak
lembut menyapa, hembusan lembut angin menepuk ringan pipiku, lalu pasir pantai
di sekeliling kakiku menapak dan jemariku yang bertautan dengan jari milikmu, sembari
canda tawa yang bergema pada pulau yang mungil lagi sepi. Hanya kita berdua.
Saya dan kamu.
Membicarakan tentang apa saja, topik
yang baru atau yang lama, sepakat untuk tidak sepakat, dan tidak sepakat untuk
sepakat. Memandangi luasnya langit dari matahari meredup hingga bintang memijar
terang.bersama bulan yang baik hati menerangi gelapnya malam. sepi tak lagi
mampir pada ribuan kalimat yang kita lontarkan berbalasan walau biasanya lebih
nyaman berdiam diri. Tahu – tahu saja terlelap karena terlampau lelah bercuap
cuap, dan aku menyempatkan untuk memandangi mu yang tertidur, mengabadikan
dalam memori mataku, memandangimu hingga kantuk menyambutku.
Sayangnya semua itu hanya ilusiku.
Kenyataannya, kau berbincang riang
tentang seseorang yang kau bawa pergi jauh. Tentang memandangi matahari terbit
di bukit. Tentang impianmu membawanya kelautan. Mimpimu memang sama dengan
milikku, hanya saja tak ada namaku dalam cerita itu.
“And we danced in the
room
Grew our heart a bloom”
Pada
setitik kecil harapan nekad yang melintas, saat komunakasi intens terjalin
walaupun bukan tentangku. Hati yang tak mampu berdusta, melonjak riang saat
notif darimu muncul meramaikan gawaiku yang selalu saja sepi. Tentang kekhawatiranmu
pada aku yang bandel. Pada semua perhatianmu yang hanya sebatas teman namun aku
salah artikan.
Lalu
ku beranikan menjadi telinga saat kau butuh di dengar, memposisikan diriku
sebagai sahabat yang baik dan bertukar pendapat yang ku usahakan mati matian
tanpa menghiraukan hati kecilku yang meronta beringas. Kebanyakan tentang impian
mempersuntingnya. Tentang rintangan pelik yang menghadangmu lalu kau tanyakan
solusinya padaku. Tentang hati yang teriris ngilu saat mendengar semua itu.
Tentang sekelibat harap yang berharap jahat agar ceritamu tak jadi, berantakan,
lalu aku punya kesempatan. Namun tak sampai hati, aku ternyata tak sejahat itu.
“I stopped right there
You've found a new home
And I should be happy
I should be happy”
Lalu
aku tak mampu.
Lalu
aku memilih beranjak pergi karena tak tahan lagi.
Tak
tahan meredam hatiku yang ingin kabur, memelukmu.
Tak
tahan untuk tak melepasmu, bahagia.
Lalu
ku sadari aku tak bahagia dengan semua ini, ku lepaskan semuanya, sesalnya,
kenangannya, ceritanya. Semua – muanya. Tak bersisa. Hingga hampa tak mengapa. Lagi
– lagi asal kau bahagia. Namun sayangnya aku tak lagi ambil bagian dalamnya.
Biar
ku definisikan bahagia milikku sendiri. Ku yakin aku mampu. Walau rasanya
sangat berat tanpa dirimu. Aku hanya belum terbiasa saja.
Sampai
jalan, kawan.
Kali
ini yang sebenar – benarnya, tak lagi wacana seperti dulu – dulu.