Minggu, 14 Januari 2018

Man upon the hill - Women on the rice field

“Hey man upon the hill, up here
I used to write you
You loved the way I watch the sun
Through my  finger
We spent sometimes to the day we met

Can I fall into your constellation ?”

            Pada satu pria yang senang saja membaca tulisanku yang entah kemana tujuannya, yang mengomentarinya hingga kehabisan kata pada larik dan kalimat yang terangkai kebanyakan tentangnya dalam sudut pandangku, dalam imajinasi liarku, dalam rindu diam diam yang aku tuangkan begitu saja pada jemari yang menari meliuk riang di atas keyboard pada malam malam sepi.
            Pada pertemuan ajaib yang seringkali menghanyutkan hingga lupa waktu, entah mengapa selalu saja salah kostum dan entah mengapa selalu saja kukenakan sepatu aus yang kau amati dengan teliti, tentang ramalan bintang dirimu yang bertebaran dimana mana, yang semakin menjebak dengan harapan melambung tinggi pada laman internet yang entah benar atau tidak, hanya saja mereka tulis leo dan sagitarius itu cocok dan aku mengamini begitu saja. selalu saja aku yang naif ini penuh dengan kesalah pahaman karena terlalu sibuk berasumsi dengan hati sendiri.

“ drove in the wind
Opened the window
Waved to nothing
Just to keep us awake
We drove under the heavy rain
Soaking wet yes
We laughed at it yet

And tell me more of your constellation arm”

                Pada satu mimpi yang kini meruap tinggal halusinasi.

            Birunya lautan dengan deburan ombak lembut menyapa, hembusan lembut angin menepuk ringan pipiku, lalu pasir pantai di sekeliling kakiku menapak dan jemariku yang bertautan dengan jari milikmu, sembari canda tawa yang bergema pada pulau yang mungil lagi sepi. Hanya kita berdua. Saya dan kamu.
            Membicarakan tentang apa saja, topik yang baru atau yang lama, sepakat untuk tidak sepakat, dan tidak sepakat untuk sepakat. Memandangi luasnya langit dari matahari meredup hingga bintang memijar terang.bersama bulan yang baik hati menerangi gelapnya malam. sepi tak lagi mampir pada ribuan kalimat yang kita lontarkan berbalasan walau biasanya lebih nyaman berdiam diri. Tahu – tahu saja terlelap karena terlampau lelah bercuap cuap, dan aku menyempatkan untuk memandangi mu yang tertidur, mengabadikan dalam memori mataku, memandangimu hingga kantuk menyambutku.

            Sayangnya semua itu hanya ilusiku.

            Kenyataannya, kau berbincang riang tentang seseorang yang kau bawa pergi jauh. Tentang memandangi matahari terbit di bukit. Tentang impianmu membawanya kelautan. Mimpimu memang sama dengan milikku, hanya saja tak ada namaku dalam cerita itu.

“And we danced in the room
Grew our heart a bloom”

                Pada setitik kecil harapan nekad yang melintas, saat komunakasi intens terjalin walaupun bukan tentangku. Hati yang tak mampu berdusta, melonjak riang saat notif darimu muncul meramaikan gawaiku yang selalu saja sepi. Tentang kekhawatiranmu pada aku yang bandel. Pada semua perhatianmu yang hanya sebatas teman namun aku salah artikan.
                Lalu ku beranikan menjadi telinga saat kau butuh di dengar, memposisikan diriku sebagai sahabat yang baik dan bertukar pendapat yang ku usahakan mati matian tanpa menghiraukan hati kecilku yang meronta beringas. Kebanyakan tentang impian mempersuntingnya. Tentang rintangan pelik yang menghadangmu lalu kau tanyakan solusinya padaku. Tentang hati yang teriris ngilu saat mendengar semua itu. Tentang sekelibat harap yang berharap jahat agar ceritamu tak jadi, berantakan, lalu aku punya kesempatan. Namun tak sampai hati, aku ternyata tak sejahat itu.

“I stopped right there
You've found a new home
And I should be happy
I should be happy”
 
            Lalu aku tak mampu.

            Lalu aku memilih beranjak pergi karena tak tahan lagi.

            Tak tahan meredam hatiku yang ingin kabur, memelukmu.

            Tak tahan untuk tak melepasmu, bahagia.

            Lalu ku sadari aku tak bahagia dengan semua ini, ku lepaskan semuanya, sesalnya, kenangannya, ceritanya. Semua – muanya. Tak bersisa. Hingga hampa tak mengapa. Lagi – lagi asal kau bahagia. Namun sayangnya aku tak lagi ambil bagian dalamnya.
            Biar ku definisikan bahagia milikku sendiri. Ku yakin aku mampu. Walau rasanya sangat berat tanpa dirimu. Aku hanya belum terbiasa saja. 

            Sampai jalan, kawan.

            Kali ini yang sebenar – benarnya, tak lagi wacana seperti dulu – dulu.

Jumat, 07 Juli 2017

Aku Hanya Ingin



Aku hanya ingin..
Memandangimu kala terlelap
Memperhatikan
Betapa lentik bulu mata itu
Betapa teduh sosok itu

Aku hanya ingin..
Menghiasi mimpimu
Mengusir kalutmu
Menawarkan
Peluk hangat milikku
Di kala risau melandamu

Aku hanya ingin..
Duduk manis di sebrang mejamu
Mengulurkan secangkir teh hangat
Kala hujan tak lagi bersahabat

Aku hanya ingin
Menyimak dan mengulik kisah panjang
Dari bibir yang lebih nyaman terdiam
Aku ingin jadi tujuanmu tuk pulang
Jika lelah mulai menggelayutimu kelam

Aku hanya ingin..
Jadi yang terakhir kau lihat
Dan pertama yang kau dekap
Saat hari – hari mulai terasa penat

Aku hanya ingin..
Terus belajar hal baru
Terus mencoba memahamimu
Lalu berjuang, kau dan aku selalu

Aku hanya ingin..
Berdiri satu shaf di belakangmu
Yang mencium tanganmu hormat
Yang slalu ku sebut dalam doa lirih nan hikmat

Aku hanya ingin terus bersamamu
Jika boleh ku?

Cinta itu, Berdusta.





Entah mengapa tengah malam ini, aku terisak kencang seorang diri, saat menonton film favoritku untuk kesekian kalinya. Akhir ceritanya sungguh menyayat hatiku. Lalu ingatanku berlompatan pada satu cerita dan cerita lainnya. .

Kawan karibku, Rachma. 
Dia yang selalu saja tersenyum walau hidup terasa pahit. Dia, kawanku yang selalu saja tertawa terbahak – bahak pada leluconku yang entah dimana letak lucunya. Kawanku tersayang yang selalu saja menemani hariku segelap gulita apapun itu. Ia selalu saja setia disana.
Namun akhir – akhir ini senyum khasnya itu lenyap. Berganti pesan singkat yang membuat koyak hatiku, membacanya saja serasa tersayat sayat hancur, tak ku bayangkan bagaimana rasanya ada di posisinya kini. Hatinya pasti remuk redam. Begitu hancurnya hingga tangis pilu terdiam takkan mempengaruhi apapun. 

Ia masih saja mencoba tersenyum pahit, guna mengelabui hati dan harinya, akan baik – baik saja. Maafkan daku, kawanku sayang, di hari tergelapmu kini aku masih saja di kota dingin ini, jauh darimu, jauh dari pelukan hangat yang ingin rasanya ku bagi denganmu, jika saja itu bisa meringankan hati pedihmu. Walaupun secuil saja.
Maafkan aku..

Mengapa janji begitu mudah terucap, begitu pun mudah terlupa?
Tak kurang 6 tahun ia perjuangkan semuanya dan tiba – tiba bak di sambar petir semua impiannya runtuh seketika. Seakan tak berbekas. Hilang begitu saja. Hati wanita mana yang tak hancur remuk redam? Jika lelaki yang ia begitu cintai, yang ia perjuangkan dengan tangis dan darah, mendadak berpaling dan meminang gadis lain yang lama hari mengenalnya pun dapat dihitung jari?
Tiba – tiba saja cinta itu menguap di udara. Bersama janji – janji palsu yang kini tak berarti lagi. Seakan kehadiran karibku tak membekas apapun di hati lelaki kurang ajar itu! Betapa manusia begitu kejam lagi menakutkan untuk sekedar menaruh harap dan percaya! Semudah itukah hati berbalik dan tiada berbekas? Jika saja membunuhnya tidak berdosa, mungkin kini aku sedang berdiri di depan halaman rumahnya, menggengam belati hingga dia rasa sakit menghujam seperti apa yang Ia dan aku rasa. Tega nian menghacurkan hati sahabatku yang ku tahu pasti tak ada sedetik pun ragu padanya!!! Aku marah bukan untuk cinta yang tidak jadi, namun karena begitu mudahnya terganti!!! Semudah itukah hati terhenti?  

Namun itu hanyalah angan muramku. Khayalan sesat terdalam. Andai yang berbahaya. Kenyataannya, hanya sanggup ku sampaikan kata – kata penghiburan. Yang meringankan sesak di hatinya pun tidak. Hanya dapat ku berdoa dalam sepi, semoga waktu mampu mengikis, duka itu lapis demi lapis.

Lalu mengapa kami berdua sama – sama tak beruntung?

Tak sampai hati ku ceritakan apa yang terjadi dengan hati milikku. Yang kini berdebu, lagi – lagi berkat janji lama yang aus tergerus masa. Hati manusia adalah hal yang paling rapuh. Serapuh debu yang tertiup angin, menyaruk nyaruk tanpa arah. Entah kemana.
Jika saja kau punyai sedikit keberanian untuk mengakuinya. Untuk menjawab jujur apa yang selama ini menghantui tidurku. Sederet kalimat yang masih saja memberati langkahku dalam setitik harap yang membekap. Menenggelamkan asaku hingga kini tak kurasa lagi. Aku mulai tumpul pada sebaris tanya yang membelit hati, melumpuhkan raga.

“ Aku tak lagi mencintaimu. Maaf, untuk tidak menepati janjiku.”

Semudah itu membebaskanku. Semudah itu.
. . .

Duhai, Rachma sayangku..
Pahit yang ku sesap ini tak ada apa apanya dibanding sedih yang meliputi hatimu. Sungguh tak dapat ku bayangkan berada di posisimu kini. Kau sungguh berani, lebih kuat dari aku yang kerjaannya sok macho sok tegar tapi nangisan ini. kasihi apa yang ada dalam dirimu dulu ya? Jangan kau tutup pintu hati itu seperti milikku yang kini sedang macet ini. kau berhak didalam dekapan lelaki yang kelak menuntunmu ke surga, yang sayangnya melebihi sayangku padamu. Setulus punyaku. Ingat, Gusti Allah akan menepati janjinya.

Tak usah kau hiraukan ocehan usil orang lain, mereka tak mengetahui detailnya sepertiku. Abaikan saja pertanyaan pertanyaan jahat itu. Tersenyumlah saja, dan lihat, betapa kikuknya mereka menghadapi kamu yang tenang menghadapi hari yang bisa begitu pahit.

Semoga waktu mengijinkan kita
tertawa terbahak – bahak melupakan ini semua di ramainya jalan kota bangkok,
teriak memaki dia – mu dan dia – ku yang menyebalkan itu di tepian pantai pattaya,
lalu tersenyum sumringah seakan masa pahit ini terlampaui begitu saja.
doakan aku masih memiliki sisa umur untuk mewujudkan itu untukmu, Men!

Kita tidak kalah, sayangku!
Kita hanya melaju ke babak final berikutnya!
keren bukan?

Salam sayang,
Dari karibmu yang hobi menggalau balau
Meringis lalu nyruput cincau


Onti Cyn.