Aku selau berusaha dengan susah payah melupakan setiap
lincah geriknya, memaksa otakku untuk mereset betapa senyum yang dulu pernah dengan
keji ku abaikan begitu saja. Ia yang kini entah kemana rimbanya dan aku dengan
siksa mendera menyelubungi hatiku yang kini tak mampu menghentikan sapuan gelombang pasang kenangan ini bahkan
dengan cucuran getir air mata. Aku terdampar di kenyataan
hampa ini. Aku sanggup hidup tanpanya, namun hidupku takkan pernah sama lagi.
Kuingat potongan pertama memoar itu. Aku mengenalnya pertama
kali saat menginjakan kaki di bangku sekolah menengah pertama. Ia dengan ikatan
rambut kuncir kudanya dengan senyum sumingrah yang selalu ku curi dalam diam
dan di keheningan menangkap sinyal pendiam yang Ia coba sembunyikan dengan rapi.
Ia sejatinya introvert sepertiku hanya saja yang tertangkap dimataku Ia berjuang dengan
susah payah mencoba membaur. Ia dengan sejuta tindak tanduk yang tak masuk
akalnya. Ia dengan tali sepatu dengan warna, motif bahkan simpul yang tak
pernah sama satu dengan lainnya. Ia menentang dunia dengan cara konyolnya. Bahkan
tak jarang aku menertawainya dengan lantang dan Ia hanya menatap mataku lekat,
memakiku dalam diam, mencoba membungkamku.
Ia gadis paling aneh yang pernah ku temui. Ketika para
remaja di sekolah kami berlomba – lomba memendekkan rok dengan memakainya tinggi
– tinggi di perut mereka agar nampak sekelumit pemandangan paha menggoda Ia
malah memakai rok jauh di bawah lutut, tak lupa rok ditarik kencang – kencang agar
terpancang di pinggang bukan di lingkar perut. Ia begitu mencintai bola
volly, seakan Ia hidup hanya berdua dengan bola itu di dunia ini. Ia benci
berlari, karena nafasnya pendeknya selalu saja menyusahkannya. Ia selalu nampak
tertawa dengan banyolannya anehnya mencoba melucu namun yang tertangkap di
mataku hanyalah gadis yang mencoba sekuat tenaga melupakan kesepiannya. Menaklukkan
perih dalam hatinya.
Aku tahu Ia tahu bahwa aku selalu memperhatikannya namun Ia
selalu tak memperdulikan dan hanya bungkam. Ia selalu nampak sibuk membahas
gebetan terbaru teman – temannya namun sangat sedikit yang Ia ceritakan tentang
kehidupan pribadinya. Ia nampak dekat dengan mereka semua namun entah mengapa Ia
juga secara bersamaan seperti sengaja menjaga jarak. Ia tahu suatu saat ini
akan berbalik dan hanya Ia seorang yang dapat di andalkan untuk dirinya sendiri.
Ia sulit mempercayai orang lain dan aku dalam diamku selalu asyik mengamatinya
dengan spekulasi naifku.
Saat kawan kami membisikkan kabar slentingan bahwa Ia baru
saja di campakkan kakak kelas yang ku tahu dari ocehan sekelibat yang lain di
waktu istirahat Ia telah di duakan, namun Ia sama sekali tak nampak sedih. Ia
tak bergeming. Ia hanya bertingkah seperti biasanya. Ia selalu menyembunyikan
dengan rapi kekalutannya. Ia selalu menikmati kesakitan itu sendirian. Entah mengapa
ku lihat sepotong diriku di dirinya. Seperti berkaca pada air tenang, riak
kecil yang membesar menjadi gelombang itu mengusikku. Seperti hendak minta
tolong namun Ia hanya terdiam. Ia tahu aku tahu rahasianya.
Ia biasa saja. tak cantik maupun tak kemayu. Kepribadiannya yang
lincah bak anak kucing itulah yang memukau. Ku tahu pasti tak hanya diriku yang
diam – diam mengamatinya Ia dari kejauhan. Jarak dan dinding tak kelihatan yang
Ia coba bangun kokoh itulah yang memisahkan kami dari hatinya. Mungkin seglintir
lelaki berpredikat “pacar-dan-akan-segera-menjadi-mantannya” itu
membanggakannya bak tropi bergilir namun sejatinya mereka hanya terlalu bodoh
dan buta. Mereka bahkan takkan tahu sebanyak apa yang ku tahu. Mereka mencoba
berpura – pura paham tentangnya namun sepertinya mereka membabi buta membodohi
diri mereka sendiri. Aku tahu pasti Ia takkan benar – benar jatuh cinta dengan
lelaki tolol macam itu, Ia hanya sekedar bosan dan menjadikan mereka koleksi. Ia
tak pernah sekalipun menaruh hati pada mereka. Tebakkanku mungkin hanya sedikit
suka namun tak pernah cinta dan aku dengan naif dan penuh percaya diri, hanya
aku seoranglah kemana Ia tuju kelak. Hanya aku.
Potongan memoar lainnya berserakan di mana – mana. Yang ku
tahu pasti ketika pertama kali aku dengan nekat menyapanya dan ia menyambutku
bak sahabat lama yang sudah lama tak pernah jumpa. Ia tersenyum suminggrah
sembari sesekali meledekku. Kami sudah dewasa dan tak jarang tengah malam buta
bertukar pesan denganmu bisa begitu absurd dan menyenangkan. Aku tak butuh
alkohol berbicara, cukup kamu membalas pesan singkatku saja membunuh waktu yang menjemukan
ini bisa begitu memabukkan.
Kamu kini bukan ia yang ku kenal dulu. Kamu kini tak basa –
basi berkawan dengan awan gelap yang selama ini kau coba sembunyikan. Entahlah,
mungkin kehilangan ayahanda tercintamu membuatmu lupa membual dengan senyum yang
berat hati kau palsukan. Namun aku lebih suka dengan apa adanya kamu. Seakan takkan
ada lagi beban berat yang mampu meruntuhkanmu, toh kamu sudah benar - benar
runtuh. Senyummu kini benar – benar langka seringkali diam membisu menjadi
kawan kita berdua. Tapi kamu tetap saja ia. Ia yang dulu suka diam – diam meracuniku
dengan halusinasi naif yang sangat seduktif.
Kamu sedikit demi sedikit meluruhkan benteng kokoh tak kasat
mata itu untukku. Secuil harapan yang pernah terpendam itu muncul menyeruak. Kamu
gadis impian yang tak pernah nyata di hidupku. Sayangnya hatiku kini tak sepenuhnya
bisa kamu monopoli. Ada gadis yang menculik perhatianku. Dia lugu dengan senyum
menawannya. Kalem bersahaja. Sosok stabil yang begitu sabar. Dia tak sepertimu.
Bila kamu bom waktu yang sewaktu – waktu meledak dia bak syal rajut nan hangat. Pelan,
pasti, dan nyaman.
Aku mungkin tak mengapa dengan kamu yang hanya cukup di level
ok. Ok artinya baik. Dan hanya baik sudah cukup bagiku. Namun dua kutub yang
sama takkan menyatu. Sewaktu – waktu akan menolak atau butuh kerja ekstra keras
agar beriak bersama. Sedangkan dia beda kutub yang akan selalu setia menempel
denganku. Hatiku terbelah. Diam – diam aku merasa memiliki kalian berdua. Kalian
berdua yang sama – sama tidak saling mengenal. Kalian berdua yang sama – sama tersakiti
dengan pembenaran tidak warasku ini. namun aku masih saja terbelenggu disini.
Kamu mulai bosan. Kamu mulai merajuk. Kamu ingin sepenuhnya
diriku. Tak hanya sekedar menerima separuh penggal dan separuh kelabu. Disisi lain
dia mulai lelah. Mencoba memahamiku bisa begitu menyakitkan. Melelahkan. Ku biarkan
kalian berandai – andai. Sekali lagi aku mengandalkan ia yang tahu. Kamu mungkin
lupa.
Gejolak itu mulai pelik dan runyam. Aku sendiri tak mampu
memastikan hatiku. Ketika kamu mulai ketergantungan denganku, dan aku dengan
halus menampikmu. Ketika aku menginginkanmu, kamu berlari menjauhiku. Dua kutub
ini benar – benar saling menarik namun nyatanya saling menolak. Aku pasrah. Ternyata
aku jemu. Kamu pun menenggelamkan diri dengan sosok baru yang mungkin tak serba
tahu sepertiku, tapi cukup sabar menyayangimu dan kamu yang letih pun
menyandarkan bahumu pada lelaki itu. Bangsat! Aku dengan bodohnya melewatkan
momenku dan tak dapat apa – apa selain menunggu. lagi.
Dalam renungan menungguku yang tak pernah habisnya, aku tahu
kamu pun menunggu. Aku pun mengelabui imajiku dengan berkelibatan gadis – gadis
yang jauh labih cantik darimu. Mencoba mengalihkan kemana hatiku hendak
memberontak. tapi selalu saja berakhir dengan senyummu yang bak arsenik. Membahayakan.
Potongan memoar terakhir itu tersaruk di jejeran lemari
penuh tumpukan buku. Ya, aku lagi – lagi secara tidak sengaja menculikmu. Kamu mulai
redup. Tawamu masih serenyah dahulu namun tak lagi ku lihat sinar menyihir di
matamu. Nampaknya kamu terlalu lelah dengan hidup ini. kamu bosan bermain
dengan hati – hati yang tak pernah cukup konsisten seperti aku padamu. Namun ku
akui baja angkuh pun akan remuk dimakan waktu. Begitu pun aku. Berkali – kali aku
mengisyaratkan ingin menyerah. Kamu tahu tapi hanya diam. Kamu yang selalu
menolak uluran jaketku dan memilih tercabik dingin asal bersamaku.
Aku takkan mampu hidup terus begini. Kamu yang tak pernah
sepenuhnya patuh. Kamu yang ku takutkan menutupi sinarku dengan tembok khayalmu
itu. Kamu yang selalu saja membandel. Aku hanya sisa – sisa petualangan yang
seperti kau pun sudah enggan. Kita pun berpisah malam itu dengan penutup malam dengan
mencoba menolak cium hormat di punggung tanganku yang biasa kau lakukan. Ku lihat
kau cukup tercabik dan mungkin membuat ciut nyalimu untuk mendekat lagi. Ku rasakan kita sama – sama terjebak, diketiadaan saling mencari. Ku ucapkan
selamat jalan padamu di dinginnya udara malam yang memelukku pulang kala itu. Lagi
– lagi dalam diam dan bisuku.
Aku menyapamu terakhir kali pada pesan singkat di situs
jejaring sosial favoritmu. Kala itu kau mengumpulkan kenekatan yang tersisa
untuk ganti menculikku guna berteriak riang dan memanfaatkan euforia dan
pengaruh magis band favoritku. Ini kali kedua. Di mana kali pertama gagal
begitu saja. ku akui kau cukup gigih jua. Semakin kamu gigih semakin aku
mencoba berlari. Aku biarkan saja ajakan itu membeku dimakan waktu. Entah bagaimana
perasaanmu aku tak lagi peduli. Sengaja aku menjauh dari dunia maya, mencoba
memburamkan mataku dengan setumpuk kerjaan di dunia nyata. Kamu bak dongeng
peri – peri. Semakin hari semakin fana. Mungkin membuatku terpana tapi entahlah
apa itu masih cinta.
Mendadak saja potongan memoar itu mulai kabur seiring
butiran air mata yang mengumpul di pelupuk mata. Ku pandangi sekeliling betapa
tuhan dengan maha kuasa Nya menciptakan pemandangan yang begitu sejuk sekaligus
mencekam sampai ke ulu hati. Danau tenang itu seraya memeluk hangat diriku dan
dukaku sembari menghasut betapa menyenangkannya mengakhiri penderitaan ini dengan
tenggelam didalamnya. Aku terduduk lesu di depan tendaku. Mencoba mengumpulkan
harap kamu masih bernyawa di luar sana. Masih memeluk namaku dalam untai
nafasmu. Mungkin biru membisu namun sorot matamu memanggilku. Ku pandangi
kakiku mulai lecet parah disana – sini. Perih dan darah yang membeku kering sungguh
tak lagi terasa jika dibandingkan berat yang kupikul di pundakku. Seolah pencarian
melelahkan ini dapat mengurangi rasa sesak di dalam hatiku. Sesak menyesak yang
sepenuhnya masih tidak mau begitu saja merelakanmu.
Hari ini hari keduapuluh pencarianmu, hampir dua minggu
lebih dan tiap harinya adalah neraka bagiku. Berhari – hari aku menjeritkan
namamu di igauanku. Seraya tak cukup ku teriakkan namamu di siang hari. Pandangan
sahabat karibku begitu menusuk, merayuku untuk menyerah dan mengakui kekalahan.
Aku masih tak mau menyerah walau separuh lebih dari tim sudah kehilangan harap
apalagi kemarin sandal gunungmu ditemukan tertinggal dibawah pohon, tergeletak begitu saja, menyilang. Bahkan
para sherpa sudah membujukku pulang karena sisa pencarian ini akan sia – sia. Kamu
takkan pernah ditemukan lagi. Alas kaki yang ditemukan menyilang menandakan
tubuhmu sudah menghilang. Di kaki gunung Semeru aku menangis tersedu – sedu dalam
diam. Menyesali tiap serpihan memoar yang tertinggal. Memaki diriku yang membiarkanmu
meredup. Meruntuki diriku yang tak mampu melakukan apapun demi menjebol benteng
maya itu. menghakimi diriku sendiri yang begitu bodoh dimakan gengsi yang sangsi akankah ini terjadi bila ku rakit untai memoar itu dengan tangan terbuka. Andai nan jahanam.
Aku tersaruk ditengah lautan hamparan bunga ungu yang pasti
akan kau suka bila berjalan beriringan denganku saat ini. ini adalah padang
terindah yang pernah ku lihat dengan mataku selama hidupku di muka bumi ini. Beberapa detik kuhabiskan terlena
dengan pesonanya dan betapa bahagianya bila kita berakhir disini berdua. Aku tak
perlu puncak demi gengsi semata. Aku hanya butuh pemandangan menakjubkan ini
denganmu disisi dan itu saja sudah cukup untukku hidup abadi. Aku melangkah
pelan di ujung akhir rombongan yang tersisa di oro – oro ombo, merajut harap
untukmu. Mendadak saja mataku terantuk ngantuk. Begitu berat pelupuk mata ini
hingga tak sanggup lagi ku tepiskan rasa lelah yang merajuk manja. Ku rebahkan
tubuhku begitu saja di tengah padang savana. Di antara alam sadarku, ku rasakan
hangat di sisi kananku seakan kamu ikut terbaring mesra mencoba mendekapku.
Biarkan
aku selamanya begini. Aku tak ingin beranjak. Hanya kamu dan aku serta bunga
ungu dan cinta yang tak pernah sampai berhamburan di udara. Kau mendekapku
erat, antara tak ingin melepasku dan separuh lagi ingin menyakitku. Aku tak lagi
peduli sakit mencabik ini. jika ini harga yang harus dibayar untuk memeluk
senyum bungah itu lagi tak jadi soal. Semilir angin hangat itu berhembus disisi
wajahku yang tak keruan rupanya antara air mata yang mengering bercampur debu
dan luka yang tersisa sedangkan sisa tubuhku yang lainnya mulai menggigil dan
nyaris membeku.
Angin hangat disisi itu mengingatkanku pada dua memoar terakhir
yang begitu berharga yang aku punya. Kala terjebak di lift sepi denganmu dan jembatan ditengah
kota. Dua – duanya biasa saja namun selalu mampu membuatku tersipu malu. Dua –
duanya berakhir dengan diriku yang nyaris menolak dan separuh pasrah
menghadapimu yang fluktuatif. Dua – duanya berakhir dengan kecup hangat
mendarat di pipiku yang bersemu darimu. Tak ku sangka kali ketiga ini jadi yang
terakhir kalinya. Aku lelah, berlarilah sebebas kijang di alam bebas, sayangku. Biarkan
saja aku membeku haru biru menyusulmu.